SUATU hari di tahun 1964, reporter kantor berita Antara Ita Syamsudin meliput sebuah acara di Istana Negara. Tak disangka ia dipanggil oleh Presiden Soekarno. Setengah marah, Soekarno menunjuk foto yang diambil juru potret Antara Nurdin AS yang menggambarkan rakyat berebut mengais beras yang berceceran di jalan dekat Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Karung beras yang diangkut truk-truk keluar pelabuhan rupanya sering dibolongi hingga beras berceceran.
Soekarno mengatakan foto tersebut mungkin saja dilepas kubu komunis dan mungkin juga pihak kolonialis. Menurut dia, kedua pihak itu tidak menghendaki kemakmuran Indonesia. Sang Presiden menegaskan, rakyat Indonesia tidak hanya makan beras. Pernyataan itu juga selalu dikatakan bila ada wartawan asing yang menanyakan kerawanan pangan yang sedang dihadapi Indonesia. Bahkan Soekarno kerap mengundang wartawan dan diplomat asing sarapan bersama di Istana Negara dengan menu ubi dan singkong untuk membuktikan beras bukan segalanya bagi rakyat Indonesia.
Banyak pihak menilai sikap Soekarno itu seolah-olah menafikan realitas masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia masa itu (1960-an) hidup dalam kondisi ekonomi yang terpuruk. Di mana-mana orang mengantre beras. Alih-alih memberikan solusi yang signifikan, Pemimpin Revolusi itu malah tidak menghendaki kontrak baru bagi pembelian beras dari luar negeri sejak 17 Agustus 1964.
Soekarno juga menyarankan rakyat Indonesia mencampur dengan jagung dan ubi ketika makan nasi. Padahal, kondisi masyarakat saat itu tidak sesederhana masalah beras. Ekonomi rakyat sudah tercekik. Musim kemarau panjang yang berlangsung dan gagal panen menimbulkan kelaparan hebat di Pulau Jawa. Minyak tanah hilang dari pasaran, gula dan tepung semakin sulit didapat, serta harga beras terus melonjak menimbulkan kepanikan masyarakat. Resesi ekonomi menggulingkan periuk nasi rakyat Indonesia.
Ketika berpidato dalam Dies Natalis Ke-9 Universitas Syah Kuala Darussalam Banda Aceh 2 September 1970, Bung Hatta, mantan kolega terdekat Soekarno mengungkapkan, ekonomi terpimpin yang pernah dijalankan pemerintah Soekarno telah mengacaukan jalan ekonomi bangsa yang sudah dirancang. "Politik BE lebih merupakan ‘bencana ekonomi' daripada ‘bukti ekspor'. Tidak sedikit pengaruhnya untuk mengolengkan biduk perekonomian masyarakat. Pengguntingan nilai uang kertas Rp 1.000 dan Rp 500 sama sekali tidak ada dasar ekonominya. Merupakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan rakyat yang suka menabung. Inflasi yang hebat disertai penurunan uang kertas seribu kali lipat ke bawah menghancurkan ekonomi rakyat yang bagi pemerintah juga tidak menguntungkan. Inflasi berjalan terus sampai lajunya 650% setahun," kata Bung Hatta.
Situasi semakin tidak menentu. Kemelut ekonomi yang terjadi menyulut konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Kedutaan Inggris dibakar dan rumah-rumah orang asing dijarah, menyebabkan sebagian warga Amerika Serikat dan Inggris angkat kaki dari Indonesia. Presiden Soekarno diisukan sakit parah dan akan wafat.
Kemarahan rakyat mencapai puncak ketika meletus Gerakan 30 September 1965. Peristiwa itu memicu masyarakat melakukan kekerasan, terutama terhadap anggota Partai Komunis Indonesia, partai yang dituding melakukan penyiksaan terhadap sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Cerita berakhir jelas; Soekarno "terjerembap" dan Soeharto naik menjadi pemimpin baru Indonesia.
Peristiwa di akhir masa kepemimpinan Soekarno terulang kembali saat krisis moneter terjadi pada pertengahan 1997. Efek domino krisis keuangan yang dimulai di Thailand 2 Juli 1997 dengan cepat menjalar merontokkan perekonomian Indonesia. Rupiah yang semula pada level Rp 4.850 per US$ pada awal 1997 dengan cepat bertekuk lutut. Bahkan, pada 22 Januari 1998, rupiah jatuh ke dasar jurang: Rp 17.000 hanya senilai 1 US$!
Krisis moneter kemudian perlahan menggerogoti ekonomi Indonesia. Rakyat kembali mengantre untuk mendapatkan bahan pokok pangan yang harganya terus melambung. Warga yang memiliki uang lebih berduyun-duyun ke pasar untuk menimbun bahan pangan. Tingkat pendapatan masyarakat terjun bebas, menyusul pemecatan massal yang dilakukan oleh hampir seluruh perusahaan. Pengangguran melonjak ke tingkat yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an. Jumlah orang miskin melonjak naik.
Krisis ekonomi membawa mahasiswa kembali turun ke jalan. Demonstrasi merebak di mana-mana, menuntut harga bahan pokok pangan diturunkan. Mayoritas menuntut Soeharto mundur. Borok pemerintahan Orde Baru terlihat nyata, korupsi yang merajalela, terjadi monopoli perdagangan, terutama bahan pangan, yang dilakukan Soeharto dan keluarga beserta kroni-kroninya. Kemarahan rakyat mencapai puncak ketika 6 mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dalam sebuah demonstrasi. Kerusuhan dan penjarahan terjadi di Jakarta dan beberapa kota lain. Pada 23 Mei 1998 Soeharto lengser dan menyerahkan jabatan presiden kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
Berakhirnya kepemimpinan Soeharto bukan berarti mengakhiri masalah ketersediaan pangan di Indonesia. Orde Baru justru mewariskan keruwetan ekonomi akibat korupsi dan monopoli pengadaan pangan yang hingga saat ini masih dipegang kuat oleh kroni-kroni Soeharto. Belum lagi pemaksaaan homogenitas pangan yang menyebabkan ketergantungan pada beras yang semakin tinggi.
Masih segar dalam ingatan, kasus kelaparan yang menimpa warga Yahukimo, Papua, yang menewaskan 55 warga selama 11 November hingga 7 Desembar 2005. Atau masih terdengarnya cerita warga yang terpaksa makan nasi aking karena tidak mampu lagi membeli beras. Tragedi paling baru adalah melonjaknya harga kedelai dan minyak kelapa yang membuat pendek akal seorang tukang gorengan sehingga mengakhiri hidup.
Bukan tidak mungkin krisis pangan akan terjadi lagi di Indonesia. Menteri Pertanian Anton Apriyantono akhir tahun lalu mengatakan Indonesia diprediksi akan mengalami krisis pangan kembali pada tahun 2017. Masyarakat hanya bisa berharap, krisis pangan tidak akan memicu kerusuhan dan pergantian pemimpin yang dinodai lumuran darah, seperti yang telah terjadi dalam dua orde pemerintahan sebelumnya. (*)
sumber: http://www.vhrmedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar