Selasa, 28 September 2010

ISLAM AKAN MENDOMINASI DUNIA

Allah SWT., berfirman dalam Al Qur'an :
Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar (Islam) untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai. (QS At Taubah 9 : 33)

Rasulullah SAW., bersabda:
Sungguh Allah telah menujukkan padaku belahan timur dan barat dari bumi, dan aku melihat kekuasaan ummatku mendominasi semua itu telah aku lihat." (Shahih Muslim no. 2886)

Sebagaimana yang telah Allah SWT., katakan, agama ini (Islam) adalah satu-satunya agama yang benar; dan alasan mengapa Dia menurunkan kepada Dien ini adalah, "...dengan maksud untuk mendominasi atas semua agama." Demikian, Allah SWT., tidak pernah mengirimkan kepada kita Dien hanya sekedar agama ritual belaka. Dien ini telah diturunkan kepada kita oleh Allah SWT., dengan tujuannya untuk diterapkan pada setiap sendi-sendi kehidupan dengan Syariah.

Seseorang yang tidak menyukai Islam untuk mendominasi dunia adalah kafir, musyrik, sebagaimana Allah SWT., berfirman, "...walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya." Konsekuensinya, banyak kaum "muslimin" yang tidak suka pada Syariah untuk diimplementasikan (diluar dari rasa takut dicap sebagai "ekstrimis" contohnya) yang melakukan peniadaan Iman, dan kemudian, meninggalkan ikatan Islam karena membenci apa yang Allah SWT., telah turunkan.

Mengapa orang-orang kafir dan munafiq membenci Islam untuk diimplementasikan? Sederhana saja, karena mereka tidak berharap kerusakan mereka, kejahatan, kriminal, penipuan, operasi mereka, kebohongan mereka, tiran, "kebebasan" dan tipu muslihat mereka berakhir dan keadilan (Islam) akan menang.

Namun, kemenangan Islam yang telah dijanjikan oleh Allah SWT., tidak perlu berarti bahwa setiap orang di dunia akan menjadi Muslim. Ketika kita katakan Islam akan mendominasi dunia kita mengartikannya sebagai sistem politik, ketika Rasulullah SAW., mengatakan bahwa kekuasaan di bumi akan dimiliki oleh kaum Muslimin, orang-orang beriman akan menjadi kuat dan syariah Islam akan diimplementasikan di setiap sudut kehidupan di muka bumi ini.

Jadi bagaimana Islam akan mendominasi dunia ketika banyak orang-orang tidak menerimanya?
Tentu saja, mayoritas orang-orang di muka bumi akan selalu membenci Islam dan tidak ada pilhan untuk hidup dengan syariah. Allah SWT., berfirman :
Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya-. (QS Yusuf 12 : 103)

Selanjutnya ada tiga cara utama dalam sebuah wilayah atau negara bisa menjadi Daarul  Islam (Negara Islam):
1. Mayoritas masyarakat memeluk Islam dan mengimplementasikan syariah atas persetujuan mereka.
2. Sebuah jamaah muncul, merobohkan pemerintahan dan mengimplementasikan syariah dengan kekuatan (atau perebutan kekuasan).
3. Daerah Islam yang telah menyelesaikan jihad sebagai politik luar negeri sebuah negara.

Jika kaum Muslimin tidak bisa untuk memenuhi kewajiban mereka dan mengajak orang-orang untuk memeluk Islam dan mengimplementasikan syariah, maka menjadi kewajiban atas mereka untuk ber-hijrah dan bersatu (membangun komonitas mereka dan melaksanakan syariah atas diri mereka sendiri) dan kemudian muncul melawan pemerintahan dengan kekuatan pada saatnya, dengan tanpa melihat apakah mereka mayoritas atau minoritas.

Allah SWT., berfirman:
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu... (QS Al Maidah 5 : 49)

Ayat ini dengan jelas menerangkan kewajiban untuk menerapkan syari'ah, tetapi seperti halnya ini, Allah SWT., berfirman: "...janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka," yang berarti berhukumlah dengan syari'ah walaupun mereka (orang-orang) menyukai hukum yang lain (selain syariat). Ayat ini dengan jelas dan memberikan bukti bahwa Syari'ah harus diimplementasikan dengan kekuatan walaupun orang-orang tidak menginginkannya. Lebih lanjut Allah SWT., juga berfirman:
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS Al Baqarah 2 : 193)

Salah satu bentuk yang orang-orang kafir dan syirik banyak lakukan saat ini adalah mengimplementasikan hukum buatan manusia; selanjutnya, hukum buatan manusia adalah salah satu bentuk ke-syirik-an, satu-satunya cara untuk menghilangkannya dari muka bumi ini adalah dengan berdakwah dan ber-jihad (berperang).

Faktanya, itu adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk berperang melawan fitnah (kufur dan syirik seperti hukum buatan manusia) sampai itu terhenti. Islam selalu tersebar dengan dakwah dan pedang, dan itu akan terus berlangsung untuk melakukan yang demikian itu.

Sayangnya, banyak orang saat ini yang tidak mengerti makna dari dalil-dalil Al Qur'an " laa ikrahaa fid-dien - tidak ada paksaan dalam dien..." (QS Al Baqarah 256). Ayat ini dengan salah diinterpretasikan yang berarti bahwa kita tidak bisa memaksa Islam kepada seseorang. Namun jika kita merujuk kepada pemahaman para Shahabat, maka kita bisa dengan jelas memahami bahwa ini tidak ada hubungannya sama sekali.

"Tidak ada paksaan dalam dien" berarti orang-orang seharusnya tidak menggunakan kekerasan untuk mengajak masuk ke dalam Islam, yaitu memeluk Islam. Tetapi ini tidak berati bahwa kita tidak bisa memaksakan Islam sebagai sebuah hukum dan mengatur orang-orang.

Rasulullah SAW., bersabda:
" Aku telah memerintahkan kepada kalian untuk memerangi semua orang sampai mereka mengatakan, " Laa ilaaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah - tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad (SAW.,) adalah utusan Allah." Jika mereka mengatakannya, darahnya dan hartanya akan selamat dari kita, kecuali dengan kebenaran Islam (syari'ah); dan tanggung jawab mereka terserah atau berada  dengan Allah." (Musnad Imam Ahmad)

Selanjutnya, Rasululullah SAW., dan orang-orang yang beriman telah diperintahkan untuk memerangi orang-orang sampai mereka masuk memeluk Islam atau hidup dengan Islam (dan tetap sebagai kafir). Jika mereka menjadi Muslim darah mereka dan harta mereka akan menjadi suci, tetapi mereka akan tetap tidak aman "dari kebenaran Islam," berarti bahwa mereka harus tetap hidup diatur dengan syari'ah (sebagai hukum dan perintah).

Tetapi jika mereka masih tetap kafir, mereka setidaknya akan hidup dengan hukum Islam; salah satu cara, orang-orang yang mempunyai pilihan dari agama manapun yang mereka mau ikuti, tetapi mereka tidak mempunyai pilihan untuk tidak hidup di bawah aturan syariat Islam.

Dalam sebuah riwayat yang shahih, Rasulullah SAW., telah memerintahkan para sahabatnya untuk mengajak kaum non muslim untuk masuk ke dalam Islam. Jika mereka menolak untuk masuk ke dalam Islam dan tetap dalam keyakinan mereka, maka diperbolehkan asalkan mereka menerima syariat Islam sebagai sebuah sistem pemerintahan. Jika mereka tetap menolak, maka mereka akan diperangi hingga  dien Allah ini (Islam) manjadi dominan dan di implementasikan:
Rasulullah SAW., bersabda:
 "Perangilah dengan nama Allah dan di jalan Allah, memerangi mereka yang tidak beriman kepada Allah. Membuat sebuah perang suci, jangan menggelapkan harta rampasan; jangan pecahkan ikrarmu; jangan merusak (yang gugur) tubuhnya; jangan membunuh anak-anak. Ketika kamu bertemu dengan musuh-musuhmu yang musyrik, ajaklah mereka pada tiga pilihan. Jika mereka merespon masing-masing dari itu, kamu juga menerimanya dan menahan dirimu untuk melakukan kejahatan. Mengajak mereka untuk (menerima) Islam; jika mereka merespon kepadamu, menerima itu dari mereka dan berhenti untuk memerangi mereka. Kemudian ajak mereka untuk hijrah dari tanah mereka ke tanah muhajirun dan beritahu mereka bahwa, jika mereka melakukan itu, mereka akan mendapatkan hak-haknya dan kewajiban atas muhajirun. Jika mereka menolak untuk hijrah katakan kepada mereka akan berstatus sebagai Badui Muslim, tetapi mereka tidak akan mendapatkan bagian dari harta rampasan perang atau fa'i kecuali ketika mereka benar-benar berperang dengan kaum Muslimin (malawan orang-orang kafir). Jika mereka menolak untuk menerima Islam, diwajibkan atas mereka jizyah. Jika mereka menolaknya mintalah pertolongan Allah dan perangilah mereka..." (Muslim no 1731)

Jika mereka menolak untuk menerima Islam, diwajibkan atas mereka jizyah. Jika mereka setuju untuk membayar, menerimanya, maka cegahlah tanganmu (dari memerangi). Jika mereka menolak untuk membayar jizyah, carilah pertolongan dari Allah dan perangilah mereka.

Jizyah adalah bayaran kecil atau pajak yang dikenakan kepada setiap non muslim yang tunduk kepada syariat Islam dan dibayarkan kepada Khalifah (pemimpin kaum Muslimin). Jizyah dibayarkan sebagai balasan bagi non Muslim karena akan hidup di bawah sebuah perjanjian, selanjutnya menjadi terlarang bagi kaum Muslimin untuk melanggar kesucian mereka.

Ini adalah perintah dari Rasulullah SAW., dan sangatlah jelas; jika mereka menolak untuk masuk Islam, maka kewajiban atas mereka adalah membayar jizyah yaitu mengimplementasikan syari'ah atas mereka. Jika mereka atau non muslim ini menolak masuk ke dalam Islam dan juga menolak untuk hidup di bawah sistem Islam, maka "carilah pertolangan Allah dan perangilah mereka."

Kesimpulan

Jadi bagaimana Islam akan mendominasi dunia? Hampir bisa dipastikan dengan kekuatan! Di negeri-negeri seperti Inggris dan Amerika orang-orang dengan tegas menolak untuk masuk ke dalam Islam dan dapat dipastikan bahwa mereka memilih tidak hidup dengan syari'ah. Selanjutnya, hampir bisa dipastikan negara-negara ini bisa menjadi di bawah kekuasaan Islam adalah dengan atau apabila Negara Islam menaklukan mereka setelah menerapkannya di tempat lain (seperti Timur Tengah dan Asia). Namun, hal ini tidak berati bahwa kita harus berhenti mengajak (berdakwah) kepada mereka untuk masuk Islam.
Rasulullah SAW., bersabda:
"Masalah ini (Islam) akan tetap menyebar sejauh malan dan siang menjangkau, sampai Allah tidak akan meninggalkan satu rumahpun terbuat dari lumpur dan rambut, tetapi akan membuat agama ini memasukinya, selagi membawa kekuatan kepada seseotang yang kuat (seorang Muslim) dan kehinaan bagi seseorang yang tidak setuju (menolak Islam); kekuatan dengan yang Allah tinggikan kepada Islam (dan orang-orangnya), dan aib bagi yang Allah hinakan kepada orang-orang kafir." (Musnad Imam Ahmad)
عصبة المسلمين يفتتحون البيت الأبيض
"Sebuah bagian kecil dari kaum Muslimin akan muncul dan (akan) menaklukkan rumah putih." (Musnad Imam Ahmad)

Banyak orang yang mengejek konsep Islam akan memdominasi dunia, dan hal itu termasuk salah satu dari karekteritik munafiqin dan hal tersebut sudah termasuk melakukan satu peniadaan Islam ; tidak mempercayai perkataan Allah SWT., dan RasulNya SAW.,
Wallahu'alam bis showab!
Source : almuhajirun.net


Source: http://arrahmah.com/index.php/blog/read/8788/islam-akan-mendominasi-dunia#ixzz10sDQvMvn
Selengkapnya »»»

Kamis, 23 September 2010

Ganasnya Minoritas Kafir Terhadap Muslimin

  
Penjajah Belanda yang beragama Kristen, dan mereka itu adalah minoritas di Nusantara, terbukti telah bercokol mencengkeramkan kuku-kukunya di Nusantara selama 350-an tahun dengan aneka pelanggaran dan pemerkosaan hak-hak sipil. Berapa ribu ulama yang telah dibantai dengan cara diadu domba. Contohnya, di zaman Amangkurat I, pengganti Sultan Agung di Kerajaan Mataram Islam, di Jogjakarta, Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan Belanda, lalu para ulama tidak setuju, maka dikumpulkanlah para ulama itu di alun-alun (lapangan) sejumlah 5.000-an ulama, lalu dibantai. Sejarahnya sebagai berikut:

 Amangkurat I membantai ribuan ulama

Pembantaian terhadap umat Islam kadang bukan hanya menimpa umat secara umum, namun justru inti umat yang dibantai, yaitu para ulama. Pembantaian yang diarahkan kepada ulama itu di antaranya oleh Amangkurat I, penerus Sultan Agung, raja Mataram Islam di Jawa, tahun 1646.
Peristiwa itu bisa kita simak sebagai berikut:
‘Penyebaran Islam menjadi benar-benar terhambat dan sekaligus merupakan sejarah paling hitam tatkala Amangkurat I mengumpulkan 5000 sampai 6000 orang ulama seluruh Jawa dan membunuhnya seluruhnya secara serentak.’[1]
Masalah ini ditegaskan lagi oleh Sjamsudduha pada halaman lain: ‘Penyebaran Islam pernah mengalami hambatan yang bersifat politis, yaitu adanya pergolakan intern dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hambatan yang paling hebat dalam proses penyebaran Islam terjadi ketika Amangkurat I melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap lima sampai enam ribu ulama dan keluarganya. Penyebaran Islam di Jawa mengalami stagnasi untuk beberapa lama karena kehabisan muballigh, dan perasaan takut.’[2]
Dibantainya lima ribu sampai enam ribu ulama itu adalah masalah yang sangat besar. Sumber yang lain menyebutkan:
‘Amangkurat I, juga terkenal dengan nama Amangkurat Tegal Arum atau Tegal Wangi (karena mangkat di tempat tersebut) ialah putera Sultan Agung; naik tahta Mataram (1645) sebagai pengganti ayahnya. Berlainan dengan Sultan Agung yang bijaksana, Amangkurat I pada waktu hidupnya membuat beberapa kesalahan dan sebagai tanda kelemahan ia mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kompeni Belanda  (1646). Tindakannnya ini ditentang oleh beberapa golongan, di antaranya para alim ulama, sehingga mereka ini disuruh bunuh.’[3]
Peristiwa besar berupa pembantaian terhadap ribuan ulama  itu tidak terjadi kecuali di belakangnya ada penjajah Belanda yang menyetir Amangkurat I.
Penjajah Belanda itu jumlahnya sedikit, minoritas, tetapi memegang kendali kepemimpinan, terbukti memainkan peran jahatnya terhadap inti umat Islam yaitu membantai ribuan ulama. Kelompok minoritas itu sampai membantai yang mayoritas saja tidak takut, apalagi kejahatan-kejahatan lainnya.

Di Zaman penjajahan menyusu penjajah, zaman merdeka bertingkah

Berikut ini sebagian data kejahatan minoritas kafir penjajah Belanda terhadap umat Islam dalam hal memberi dana sangat besar kepada Kristen dan Katolik, sebaliknya sangat kecil terhadap Islam.
Semenjak masa pemerintah kolonial Belanda, Katolik terutama  Protestan memperoleh dana bantuan yang besar sekali, tidak demi­kian dengan Islam. Sebagai contoh pada tahun 1927 alokasi bantuan  untuk modal dalam rangka pengembangan agama, adalah sebagai  berikut:
Protestan memperoleh      31.000.000
Katolik memperoleh           10.080.000
Islam memperoleh                   80.000.[4]
Dana besar dari penjajah Belanda itu digunakan oleh orang  Kristen dan Katolik untuk membangun gedung-gedung, sekolah, rumah  sakit dan sebagainya. Sedang ummat Islam tidak punya uang. Pada  gilirannya, anak-anak orang kafirin itu telah makan sekolahan  sedang anak-anak Muslimin belum, kecuali sedikit, maka ketika  merdeka, orang-orang kafirin Nasrani itu masuk ke pos-pos pemer­intahan di mana-mana. Padahal mereka itu ogah-ogahan untuk merde­ka, lebih enak menyusu pada penjajah sesama kafir. Jadi, yang  berjuang mengorbankan nyawa dan harta untuk melawan penjajah  kafir itu orang Islam, namun ketika merdeka, penyusu Belanda itu  justru yang leha-leha duduk di kursi-kursi pemerintahan.
Keadaan itu makin didukung oleh sikap pemerintahan Soekarno  yang  bersama PKI (Partai Komunis Indonesia) mempecundangi ummat  Islam. Senjata ampuh Soekarno dan PKI adalah istilah DI (Darul  Islam) yang harus dihabisi sampai seakar-akarnya. Di situ kafirin  Nasrani bersorak kegirangan karena ummat Islam dikuyo-kuyo  (dipecundangi, disengsarakan). Di masa Soeharto berkuasa 32 tahun  pun ummat Islam dikuyo-kuyo lagi oleh Soharto, Ali Moertopo,  Benny Moerdani, Sudomo (sebelum masuk Islam) dengan tunggangan  Golkar. Sampai hanya untuk bicara agama saja harus pakai SIM  (Surat Izin Muballigh). Dan ummat Islam banyak dibantai di mana- mana, di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng Jabar dan sebagainya.  Lagi-lagi kafirin Nasrani bersorak sorai.
Mereka yang sorak sorai –selama umat Islam dibantai, dikuyo-kuyo dan didhalimi– itu kini diusulkan oleh Dawam Rahardjo (pembela aliran-aliran sesat yang merusak Islam seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Sepilis –sekulerisme, pluralisme agama, dan liberalisme— dan semacamnya)  untuk memimpin Departemen Agama. Padahal diadakannya Departemen Agama itu sendiri menurut sejarahnya adalah hadiah bagi umat Islam, karena para ulama dan umat Islam telah berjuang mati-matian untuk meraih kemerdekaan.
Bagaimana kira-kira kalau usulan Dawam Rahardjo itu terlaksana?
Kalau toh penyengsaraan terhadap umat Islam tidak sampai tingkat pembantaian, maka seandainya dari kalangan Kristen memimpin Departemen Agama, lakon nenek moyangnya dalam ideology dan agama, yaitu penjajah Belanda, bisa diterapkan pula. Yaitu dana untuk Nasrani 41 juta Gulden, sedang untuk Islam hanya 80 ribu Gulden saja.
Tidak usah jauh-jauh ke zaman Belanda, di saat pemerintahan Orde Baru pimpinan presiden Soeharto, ketika Benny Moerdani yang Nasrani itu dijadikan Menteri Pertahanan dan Keamanan/ Panglima Angkatan Bersenjata, ternyata ratusan umat Islam dibantai di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 12 September 1984. Diperkirakan ratusan Muslimin dibantai, diangkut bertruck-truck entah ke mana dikuburkannya, tak jelas.
Kemudian ketika TB Silalahi dari Nasrani pula dijadikan Menteri Aparatur Negara, maka membuat kebijakan yang mengarah pada pembunuhan madrasah-madrasah sore hari, dengan cara menambah lama bersekolah di sekolah-sekolah umum sampai agak sore, sehingga mengakibatkan rontoknya madrasah-madrasah sore hari. Masih pula ditambah dengan menghapus pengadaan guru-buru negeri untuk sekolah swasta, yang artinya adalah membunuh madrasah-madrasah (swasta) se-Indonesia. Hingga kini setelah tahun 2000 pun dampaknya makin memprihatinkan. Madrasah-madrasah (swasta) mengalami koleps, rata-rata dalam keadaan megap-megap, karena kekuarangan guru. Untuk seluruh Indonesia diperkirakan butuh 200.000-an guru madrasah, dan khabarnya sampai sekarang kalau Departemen Agama RI mengajukan kepada pemerintah untuk mengadakan tenaga guru itu senantiasa ditolak, kecuali sangat sedikit. Sebaliknya, TB Silalahi walau sudah tak jadi menteri masih aktif dalam kenasraniannya secara nasional, misalnya jadi ketua panitia natalan tingkat nasional, yang mampu menggiring para pejabat Muslim sampai tingkat presiden untuk hadir di upacara bernatalan ria, satu hal yang telah diharamkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi umat Islam. Seakan fatwa MUI itu dianggap angin lalu oleh para pejabat Muslim. Padahal, mereka (pejabat-pejabat Muslim) itu ketika sebelum naik jabatan biasanya mendekat-dekat kepada umat Islam, paling kurang dengan cara hadir di masjid-masjid,guna meraih simpati umat Islam, misalnya. Terkutuklah mereka. Agama dijadikan alat untuk meraih jabatan.
Betapa bedanya antara pejabat yang Muslim dengan yang kafir. Kalau pejabat kafir, sampai sudah tidak menjabat pun masih gigih menjajakan kekafirannya, seperti menjadi panitia upacara nasional kekafiran mereka, dan mampu menggiring pejabat yang masih aktif untuk hadir di acara kekafiran mereka. Sebaliknya, pejabat-pejabat Muslim, ketika masih menjabat saja sudah lupa terhadap Islam dan umat Islam. Justru biasanya mereka ikut-ikutan ke acara-acara kafir. Kemudian setelah mereka tidak punya jabatan lagi, baru sebagian mendekat-dekat lagi ke umat Islam, tetapi sudah tidak ada daya apa-apa, hanya sekadar mengisi waktu menunggu umur. Itu saja sering-sering hanya berfungsi untuk mengendur-ngendurkan perjuangan Islam, dengan alasan persatuan dan kesatuan, misalnya; lalu cenderung ke pluralisme agama, menyamakan semua agama, atau paling tidak ya sekuler. Yang nampak di permukaan biasanya seperti itu, bila kebetulan tidak tersangkut perkara korupsi dan semacamnya yang mengakibatkan sakit atau malahan meninggal sebelum sempat diadili.
Kalau ketika jadi pejabat dikenal galak, atau pelit, atau lebih dari itu justru tukang peras, biasanya ketika pensiun, mereka minggat,  menjauh dari tempat semula. Entah dengan cara membeli tanah di kompleks yang suasananya dianggap aman, atau sekadar ndompleng  ke anak atau menantu, bila perlu. Perkara nasib mereka di akherat seperti apa, itu urusan Allah subhanahu wata’ala terhadap mereka. Kalau di dunia sudah banyak mendhalimi manusia, bahkan agama Allah subhanahu wata’ala, maka betapa ngerinya. Maka mumpung masih hidup, sebaiknya bertaubat, memperbanyak amal sholih, ikhlas lillahi Ta’ala, agar husnul khotimah.
Kembali kepada sikap Dawam Rahardjo, perlu diingatkan mengenai kegigigihan orang kafir tersebut. Yang telah dikemukakan itu tadi, orang-orang Nasrani sampai sebegitu jauhnya dalam memecundangi Islam dan umat Islam. Padahal mereka itu tidak langsung memegang jabatan yang berkaitan dengan agama Islam. Bagaimana pula seandainya mereka yang Nasrani itu menjadi menteri agama? Tidak jadi menteri agama saja, terbukti pencelakaan terhadap umat Islam sudah sedemikian drastisnya. Lha kok Dawam Rahardjo yang dijuluki sebagai cendekiawan Muslim malahan sama sekali buta terhadap lakon jahat orang Nasrani yang telah ditusukkan kepada umat Islam se-Indonesia, padahal jelas-jelas di depan mata.
Sebaiknya Dawam Rahardjo membuka mata, melihat sejarah, agar ada sedikit gambaran tentang betapa mengenaskannya (memprihatinkannya) kondisi umat Islam akibat disengsarakan oleh kelompok minoritas anti Islam.
Kembali ke kekejaman Belanda (minoritas tapi menjajah) dalam membunuhi umat Islam. Peristiwa Perang Paderi selama 13 tahun (1824-1837M), antara Islam (Salaf)[5] yang dipimpin Imam Bonjol dan kaum adat (Islam tradisional) di Sumatera Barat dicampur tangani Belanda. Belanda memihak kaum adat. Kaum adat berdebat sesamanya. Sebagian kaum adat memihak ke Imam Bonjol, dan sebagian menyerah terhadap Belanda. Lalu Imam Bonjol sendiri ditipu oleh Belanda dengan cara pura-pura akan diadakan perdamaian, namun hanya menipu untuk menangkapnya, kemudian membuangnya ke Betawi, ke Cianjur Jawa Barat, lalu ditahan di Ambon, dipindah ke Menado, dan wafat di sana setelah 10 tahun di Menado, 6 November 1864.[6]
Belum lagi perang Aceh, Belanda dengan dipanas-panasi oleh penasihatnya, Snouck Hurgronje bahwa satu-satunya jalan hanyalah berlaku keras terhadap para ulama dan umat Islam, lalu dibantailah para ulama di Aceh, beserta umat Islam.

Sikap Snouck terhadap Islam, Ulama, dan Muslimin 
Fakta sejarah menunjukkan kedustaan Snaouck Hurgronje dan rencana penyamarannya bukan tidak mungkin menunjukkan bahwa masuk Islamnya di Jeddah serta hubungannya dengan orang-orang Aceh di Mekkah al-Mukarramah pun termasuk perbuatan pura-puranya. Namun, dusta tersebut telah memberinya jalan memasuki daerah Aceh, tempat dia akan mengumpulkan informasi-informasi yang dapat memberi saham dalam mewujudkan pemecahan masalah atas daerah Aceh bagi Belanda. Untuk itu Snouck Hurgronje menerima pekerjaan di Batavia.
Di Batavia, dia mulai mengumpulkan informasi tentang pengajaran Islam di sekolah-sekolah Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta tentang apa yang dinamakan hierarki keagamaan Islam yang berkali-kali disangkal keberadaannya oleh Snouck Hurgronje. Pada dasarnya, Snouck benar karena di dalam Islam tidak dikenal sistem hierarki sebagaimana dalam  Katolik atau Kristen pada umumnya. Kemudian datang perintah untuknya agar melaksanakan tugas resmi yang telah digambarkan dalam rekomendasi-rekomendasi sebagai sesuatu yang sangat rahasia. Dalam perjalanan mata-matanya itu, orang-orang Aceh, termasuk beberapa ulama, menaruh kepercayaan penuh kepadanya. Mereka memberi sambutan hangat dan menerima kedatangannya. Laporan-laporannya (kepada pemerintah Belanda, pen) berisi kebencian, dendam, pemutarbalikan, dan kebohongan, khususnya terhadap para ulama yang dianggap sebagai kendala penghambat tunduknya daerah Aceh kepada pemerintah Belanda. Para ulama merupakan motor penggerak spitritual masyarakat dalam membela daerah itu sehingga di dalam laporan-laporan spionasenya, para ulama itu berpuluh-puluh kali dijuluki gerombolan ulama. Selain itu, diapun menyampaikan usul kepada pemerintah kolonial untuk menempuh cara politik kekerasan dan penumpasan terhadap para ulama dengan menyatakan:
 Sesungguhnya musuh utama dan yang giat adalah para ulama dan para petualang yang menyusun gerombolan-gerombolan yang kuat. Sekalipun jumlah mereka sedikit dan tumbuh di antara lapisan-lapisan masyarakat yang bermacam-macam, mereka mendapat tambahan dari sebagian penduduk dan pemimpin-pemimpinnya. Tidak mungkin akan diperoleh manfaat dalam perundingan dengan partai musuh ini karena akidah dan kepentingan pribadi mereka mengharuskan mereka untuk tidak tunduk, kecuali dengan penggunaan kekerasan terhadap mereka. Sesungguhnya persyaratan yang paling mendasar untuk mengembalikan peraturan di daerah Aceh haruslah mengkaunter para ulama dengan kekerasan sehingga ‘ketakutan’ menjadi faktor yang menghalangi orang-orang Aceh untuk bergabung dengan pemimpin-pemimpin gerombolan agar terhindar dari bahaya. Menurut pendapat saya, mesti dipersiapkan rencana mata-mata yang efektif dan terorganisasi untuk memata-matai Tuanku Kuta Karang (pemimpin ulama pada tahun 1892) dan gerombolannya. Pasti akan ada hasil awalnya. Biarpun saya tidak mampu menjelaskan seluruh rinciannya, namun saya berani berkata bahwa pekerjaan mata-mata itu adalah suatu kemungkinan.” [7]                    
Demikianlah faktanya. Snouck telah melibatkan dirinya untuk kepentingan penjajahan dengan bukti pernyataan dan laporannya kepada Jendral Van Houts untuk memerangi kaum muslimin di seluruh wilayah jajahan Belanda. Dengan kata lain ia mengusulkan untuk menggunakan kekerasan dalam menumpas kaum muslimin. Karena itu Jendral tadi mendapat julukan “pedang Snouck yang ampuh” karena keberhasilannya dalam memerangi umat Islam.
Di samping itu Snouck Hurgronye juga banyak membantu dalam pembinaan kader missionaris Belanda dan membuka sekolahan untuk mengkristenkan muslimin di seluruh wilayah jajahannya.
Terdapat fakta lain pula bahwa seorang tokoh missionaris kondang dan sangat disegani di kalangan kaum orientalis yang bernama Hendrick Kraemer adalah murid Snouck Hurgronje, dari tahun 1921 hingga tahun 1935. Hubungan di antara guru dan murid terus berkesinambungan tanpa putus. Snouck Hurgronje wafat pada tahun 1936.[8]
Dr Van Koningsveled  berkata: “Tidak terputus surat menyurat antara Snouck Hurgronje dan muridnya, Hendrik Kraemer, misisionaris terkenal dan berpengaruh dalam lingkungan  aktivis kristenisasi dari tahun 1921 sampai dengan 1935. Menurut penjelasan Boland, buku Hendrik Kraemer, Misi Kristen di Dunia Non Kristen[9]  mengungkapkan dengan jelas bahwa orang-orang Kristen mempunyai rencana untuk mengkristenkan dunia, khususnya Indonesia. Mereka bertujuan menundukkan dunia Islam.[10] Bahkan, Kreamer membandingkan Islam dengan Nazi.[11]

Zaman merdeka, minoritas pun membantai umat Islam

Bahkan di zaman merdeka dan setelah tahun 2000 pun Indonesia yang mayoritas Muslim ini, kaum minoritas membantai umat Islam di Poso Sulawesi, juga di Ambon. Tibo, otak pembantaian terhadap umat Islam di Poso, dikabarakan mengaku didoakan oleh gereja ketika mau melakukan pembantaian itu.[12]  Majalah Sabili No 22, Th XIII, 18 Mei 2006/ 20 Rabi’ul Akhir 1427H memberitakan sebagai berikut:
Gereja acap kali disebut-sebut dalam berbagai kerusuhan di tanah air. Keterlibatan gereja pula yang disebut tervonis mati Tibo baru-baru ini.
Menjelang eksekusi mati, panglima pasukan Merah saat konflik Poso berkecamuk beberapa waktu lalu ini, mengungkap keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). GKST pimpinan pendeta Damanik yang berpusat di Tentena ini, menurut Tibo terlibat dalam pembantaian umat Islam Poso.
Menurut Tibo, (pihak gereja) GKST memberikan dukungan moril dan lainnya kepada pasukan Merah yang hendak menyerang kaum Muslimin Poso. Bahkan, lanjut Tibo, para pendeta mendoakan mereka dengan upacara ala Kristen di Gereja tersebut.
Hasilnya? Sebuah tragedy kemanusiaan yang di luar batas kewajaran manusia. Pembantaian dan penganiayaan terhadap umat Islam secara biadab telah dilakukan pasukan Merah. Fakta ini terungkap dari keterangan sejumlah saksi saat persidangan Tibo beberapa waktu yang lalu.
Kesadisan pasukan Kelelawar pimpinan Tibo terhadap kaum Muslimin terungkap di persidangan. Menurut salah satu saksi, pembina pesantren Walisongo Poso, Ustadz Ilham, ia melihat rekannya dibacok pasukan Merah pimpinan Tibo, sebelum ia nekad loncat dari mobil dan meloloskan diri.
Sebelumnya,  Ustadz Ilham bersama 28 orang lainnya disuruh buka baju. Selanjutnya tangan diikat satu persatu dengan sabut kelapa, tali nilon dan kabel. Kemudian digiring lewat hutan tembus desa Lempomawu. Rombongan Ustadz Ilham berjalan ke desa Ranononco dan ditampung di sebuah baruga.
Di sanalah mereka disiksa dalam keadaan berbanjar dua barisan. Selanjutnya ikatan tangan ditambah sampai bersusun tiga. Badan Ustadz Ilham diiris, ditendang dan dipukul dengan berbagai alat. Tak puas dengan itu, mereka menyirami umat Islam dengan air panas selama dua jam.
Kebringasan pasukan Merah itu juga diungkap saksi lainnya, Tuminah. Menurut kesaksian Tuminah, pasukan Merah mengikat mereka dengan tali dan memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Di bilik sebuah sekolah, Dominggus meminta para Muslimah melepas bajunya dan disuruh berputar-putar di depannya.
Jauh sebelumnya, keterlibatan Gereja juga disebut-sebut saat penyerangan kaum Kristen terhadap umat Islam Maluku di akhir tahun 1999. Sehari setelah Natal, Ahad (26/12 1999), dengan amat tiba-tiba, massa Kristen menyerang dan membantai kaum Muslimin di Kecamatan Tobelo, Maluku Utara.
Seorang saksi menceritakan, pembantaian yang menyayat hati umat Islam tersebut. Menurut ceritanya, sebelum penyerangan biadab itu terdengar suara lonceng Gereja saling bersahutan serta suara gaduh tiang listrik, bak pertanda kesiapan untuk menyerang.
Seketika, massa Kristen yang membawa berbagai senjata tajam sudah mengepung dan membombardir Masjid Jami’ tempat berlindungnya ribuan kaum Muslimin. Masjid Jami’pun diguyur bensin dan dengan cepat api menjilat tembok-temboknya.
Jerit tangis anak-anak kecil bayi yang kepanasan dan istighfar para Muslimah terdengar bersahut-sahutan. Yang mencoba keluar masjid langsung dibantai. Kurang lebih 750 orang kaum Muslimin yang berada di dalam masjid tersebut terbakar hidup-hidup, hingga mengeluarkan aroma daging terbakar.[13]
Sejumlah pihak pun mensinyalir keterlibatan Gereja di sejumlah daerah konflik lainnya. Sebut misalnya, kerusuhan Timor Timur (saat masih masuk wilayah Indonesia). Ketika itu, kepala Kanwil Departemen Agama di Timor Timur seorang Katolik. Ternyata karyawannya yang beragama Islam, hanya mau berkhutbah Jum’at di masjid saja dilarang oleh Kakanwilnya yang Katolik itu. Pengakuan karyawan Kanwil Departemen Agama Timor Timur bahwa dirinya dilarang oleh Kakanwilnya untuk berkhutbah di masjid itu penulis dengar langsung ketika penulis bersama rombongan wartawan Islam dari Jakarta berada di Dilly Timor Timur, waktu masih jadi wilayah Indonesia. Nah, kalau menteri agamanya dari Katolik atau Kristen, jenis-jenis pembantaian terhadap umat Islam dan pelarangan-pelarangan khutbah di masjid-masjid bagi karyawan Departemen Agama, apakah tidak dilancarkan, bahkan digalakkan? Dawam Rahardjo perlu berpikir ulang, kalau memang masih mengaku Muslim, atau berpikiran obyektif.

Tirani minoritas

Apakah itu tidak pernah terdengar di telinga seorang professor yang menyandang gelar cendekiawan Muslim seperti Dawam Rahardjo? Sedang tidur di mana dia? Selain itu, apakah tidak pernah mendengar bahwa dalam perpolitikan di Indonesia selama masa Orde baru di bawah rezim Soeharto, dalam tempo 25 tahun dari 32 tahun kekuasaannya sering diistilahkan adanya tirani minoritas, lantaran kebijakan Soeharto mengikuti pihak minoritas dengan CSIS-nya dan di bidang kekuasaan adalah Benny Murdani-nya? Kemudian setelah ada kerenggangan antara Benny dan Soeharto, lantas terjadilah aneka kerusuhan di daerah-daerah Indonesia bagian timur yang di sana campur antara Muslim dan Kristiani, maka umat Islam dibantai, dibakari rumahnya, tokonya, dan bahkan masjid-masjidnya seperti yang terjadi di Timor Timur, Flores dan lainnya. Apakah Dawam tak pernah dengar? Bagaimana ketika pegawai Departemen Agama saja tidak boleh khutbah di masjid oleh atasannya ketika atasannya orang Katolik seperti yang terjadi di Timor Timur, padahal secara penduduk Indonesia, Katolik adalah minoritas. Apakah Dawam tak pernah dengar? Bagaimana misalnya menteri agamanya itu orang Kristen, lalu melarang pegawai Departemen Agama berkhutbah di masjid, sebagaimana Kepala Kanwil Depag Timor Timur waktu masih jadi wilayah Indonesia melarang pegawainya berkhutbah di masjid yang sudah ada, bahkan untuk didirikan musholla saja sulit di sana? Masih banyak lagi tentunya.
 Bukan hanya di wilayah yang banyak orang Kristennya. Di zaman Soeharto, saat berlangsung tirani minoritas, maka pencekalan terhadap khotib-khotib dan muballigh pun berlangsung, hingga ada istilah SIM (Surat Izin Muballigh). Daftar apa yang disebut muballigh-muballigh ekstrim pun beredar. Hingga muballigh digagalkan untuk berkhutbah hari raya seperti Pak Dr Deliar Noer yang digagalkan hingga masuk berita di Koran pun, Dawam tentunya dengar. Kenapa? Karena umat Islam dikuyo-kuyo oleh kebijakan yang memihak pada minoritas Kristen.
Nah, sekarang ini, rupanya Dawam justru menjadikan dirinya rela, suka ria, menjadi orang yang tidak perlu ditekan-tekan oleh minoritas Kristen, justru mencadangkan diri untuk di bagian depan sebagai orang yang rela untuk ditepuki oleh orang Kristen. Makin ramai tepuk sorak orang Kristen, makin bersemangatlah Dawam. Padahal, nanti kalau meninggal dunia, Pak Dawam apakah akan dirumat oleh orang Kristen? Apakah yang memandikan, mengkafani, mensholati, dan memasukkan ke liang kubur nanti diharapkan dari orang-orang Kristen? Dan misalnya masih percaya terhadap doa, apakah lebih baik yang mendoakan mayat Dawam nanti orang Kristen dengan nyanyian-nyanyian kemusyrikannya?
 Kalau Dawam Rahardjo istiqomah dengan pendapatnya, maka logika yang dapat dipetik: Lebih baik nanti yang merawat jenazah saya adalah dari pihak yang minoritas, misalnya Kristen. Karena mereka yang minoritas itu nanti tidak akan berani sewenang-wenang terhadap jasad saya. Berbeda dengan kalau yang merawat sampai menguburkan jasad saya itu dari pihak yang mayoritas, yakni kaum Muslimin, mereka pasti akan berbuat sewenang-wenang, karena merasa mayoritas, dan tidak dapat dikontrol dalam hal merawat jasad saya. Jadi saya lebih memilih untuk dirawat oleh orang Kristen dari proses perawatan jenazah saya sampai penguburannya. Kalau dapat, justru yang paling minoritas, yaitu orang yang tidak beragamalah yang harus merawat sampai menguburkan jenazah saya. Karena kalau yang paling minoritas, maka tidak mungkin akan berani untuk berbuat sewenang-wenang terhadap jasad saya. Berbeda dengan kalau yang mayoritas. Jadi saya lebih memilih untuk dirawat jenazah saya  oleh orang yang tidak beragama, daripada yang beragama.”  Itu logika yang pas dari ungkapan-ungkapan Dawam Rahardjo yang telah terlontar sebelumnya, bila dirangkaikan dengan kematiannya, kapan-kapan. (haji).



[1] Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam- Katolik- Protestan di Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1987, halaman 119.

[2] Ibid, halaman 167.

[3] Prof. Mr, AG. Pringgodigdo –Hassan Shadily MA, Ensiklopedi Umum, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1977, halaman 45.

[4] Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam - Katolik- Protestan di Indonesia,_Usaha  Nasional Indonesia, cet II, 1987, hal 129.

[5] Sebelum Imam Bonjol datang dari Makkah, sudah berlangsung pemurnian Islam di Minangkabau menjelang akhir abad 18, dengan dibereskannya tarikat-tarikat Syatariyah dan sebagainya ke arah lebih mengikuti syara’. Lalu datanglah Imam Bonjol dan tokoh-tokoh yang baru pulang dari Makkah dan mengikuti manhaj salaf, sesuai dengan Islam yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diwarisi para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan diteruskan ilmunya serta penyebarannya oleh para ulama. Kaum Padri (pimpinan Imam Bonjol) itu mengganti penghulu-penghulu adat dengan qodhi (hakim agama) dan imam. Dengan ini, Imam Bonjol dan jama’ahnya mengubah system social adat. Tapi ini hanya berlangsung 3 tahun. (Sistem Imam Bonjol tentunya system Islam, hukum waris ya cara Islam. Sayangnya, hanya berlangsung 3 tahun, kembali ke adat lagi. Sampai  buku ini ditulis, tahun 2006, walaupun masyarakat Sumatera Barat atau Minangkabau itu beragama Islam, tetapi dalam hal warisan harta orang yang meninggal dunia, memakai cara adat, khabarnya, tidak memakai hukum Islam).
Sesudah 3 tahun itu imam tetap ada, tetapi yang berkuasa adalah penghulu adat, bukan imam.  Tahun 1827, Belanda mulai ikut-ikutan campur tangan. Imam Bonjol mengajak para penghulu adat untuk menentukan sikap. Tetapi para penghulu adat berdebat  sesamanya, ada yang mau perang, ada yang mau menyerah. Imam Bonjol akhirnya pergi – dia tidak kuasa…
Lalu Belanda menipu Imam Bonjol dengan liciknya, yaitu diajak berunding, tetapi ditangkap, 29 Oktober 1837, lalu diasingkan. Mula-mula di Bukittinggi, lalu Cianjur, Ambon, dan Manado. (Lihat Leksikon Islam, Pustaka Azet Perkasa, Jakarta 1988, jilid 2, halaman 561).

[6] (lihat Ensiklopedi Umum, Pringgodigdo, 1977, halaman 444).

[7] K. Van de Maaten, Snouck Hurgronje en de Atjeh Oorlog, Leiden, 1948, hal 95, dikutip Dr Qasim Assamurai, Al-Istisyraqu bainal Maudhu’iyati wal Ifti’aliyah, terjemahan Prof. Dr Syuhudi Isma’il dkk, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, GIP, Jakarta, cetakan pertama 1417H/ 1996M, hal  158.

[8] Dr Ahmad Abdul Hamid Ghurab, ru’yah Islamiyyah lil Istisyraq, terjemahan AM Basalamah, Menyingkap Tabir Orientalisme, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta,  I, 1992,  hal 97-98.

[9] Hendrik Kraemer, the Crisitian Message in a non-Christian World, London, 1938, edisi kedua, 1947.


[10] B.J Boland, the Strugle of Islam in Modern Indonesia’s  Gravenhage, 1970, hal 236, dikutip Qasim Assamurai hal 164.

[11] Kraemer, op cit, hal 353, bandingkan Boland,  op cit,  hal 240, no 146, dikutip Qasim, ibid, hal 164.

[12] To:insistnet@yahoogroups.com
            From:”Syahril”   Add to Address Book
            Date:Wed, 12 Apr 2006 17:43:32 +0700
            Subject:[INSISTS] Fw: Tibo pahlawan HAM?
 dr  milis sebelah..,

 nc

 —– Original Message —–

 Sent: Wednesday, April 12, 2006 9:35 AM
 Subject: Re: Tibo pahlawan HAM?


 Saya juga sungguh bingung dan geram dengan perkembangan kasus Tibo yang  semakin tidak jelas dan menjauh dari konteks.
 Saya melihat media, baik media cetak maupun elektronik berperan sangat besar  dalam membuat kasus tibo menjauh dari substansinya.
 Sebagian besar media jelas sekali menutup mata dan tidak mau peduli  atas  fakta-fakta yang menunjukan bahwa “trio pembantai” ini — Tibo, Da Silva,  dan Marianus Riwu, jelas-jelas terlibat dalam pembantaian ratusan Santri di  Poso, mereka bertiga bahkan berperan sebagai pimpinan dari pasukan kelelawar  hitam, pasukan kelompok merah yang memobilisasi pembantaian terhadap ratusan  santri di Poso.
Membaca artikel Kompas beberapa hari lalu, saya sungguh geram dan bingung. Bagaimana  tidak ? dalam artikel itu,Tibo dikesankan sebagai seorang yang  religius dan tak berdosa, sang wartawan sama sekali tidak menyentuh peran  Tibo dalam kasus Pembantaian di Poso. Reaksi dari sebagian kecil masyarakat yang meminta pembatalan hukuman mati  terhadap Tibo Cs, diexpose secara besar-besaran baik di Koran maupun TV,  sementara reaksi dukungan masyarakat agar Tibo segera dieksekusi sama sekali  tak ditayangkan. Apakah seperti yang namanya Cover Both sides?  Media juga terlihat menerapkan diskriminasi dan standar ganda dalam  memberitakan Kasus Tibo Cs, dan Amrozi Cs.
Standar Ganda dan diskriminasi dalam melihat permasalahan hukum  ternyata  juga diterapkan oleh “para aktivis kemanusiaan” dan para pakar hukum di  negeri ini.Mereka — aktivis manusia dan praktisi hukum– seperti kebakaran jenggot  ketika ditetapkannya keputusan agar Tibo Cs dieksekusi mati, belasan artikel  mereka tulis di koran-koran tentang penentangan pelaksanaan hukuman Mati di  negeri ini, mereka bilang Hukuman Mati adalah warisan dari Zaman Jahiliah,  tetapi kemana suara mereka ketika keputusan hukuman mati dijatuhkan kepada  Imam Samudra Cs???
 Sungguh semua hal di negeri ini sudah terbolak-balik, bahkan kepada media,  aktivis kemanusiaan, dan para pakar hukumpun saya sudah tak percaya lagi.
 Banyak contoh dan fakta bahwa Media sering berat sebelah dalam memberitakan  sesuatu, banyak fakta juga yang menunjukan kapan para aktivis kemanusiaan  akan berteriak keras dan kapan mereka akan bungkam seribu bahasa. Hal yang  sama juga terjadi pada para pakar hukum.
 Di negeri ini semuanya Anomali, Jika Mayoritas Islam yang jadi korban itu  bukan masalah, media diam, aktivis kemanusiaan bungkam, pakar hukum tutup  mulut, tetapi jika Minoritas sedikit saja jadi korban, maka media akan   bersuara kencang, aktivis kemanusiaan akan berteriak keras : Ini melanggar  HAM!, sementara para aktivis hukum akan bertindak layaknya pahlawan pembela  kebenaran, Hahahhaaa
 Sungguh dagelan seperti ini memilukan buat saya..

[13] Majalah SabiliNo 22, Th XIII, 18 Mei 2006/ 20 Rabi’ul Akhir 1427H, halaman 20-21.

Selengkapnya »»»

Rabu, 15 September 2010

Peran Kaum Liberal dalam Memecah-belah Ummat >> by CAKRA

Penyerangan preman-preman bayaran AKKBB berkaus "Banser" terhadap anggota FPI pada saat sidang Habib Rizieq (25/9) di PN Jakarta Pusat yang lalu sekali lagi menjadi bukti adaya rekayasa memecah-belah dan mengadu-domba ummat Islam.


Luthfi Assyaukanie mengatakan, "...teman-teman JIL dan lainya sering dituduh berkolaborasi dengan Barat. Saya bilang ya kita memiliki kesamaan dan kemiripan dengan Barat. Karena agenda yang kita jalankan adalah sama dengan agenda yang dijalankan oleh negara-negara Barat. Seperti demokrasi, plurlisme, hak asasi manusia, gender. Kebebasan beragama dan lain sebagainya. Kita menganggap hal itu baik. Dan kita mencoba menerapkan hal demikian di sini. Dan ini percis sekali dengan apa yang pernah dilakukan Cak Nur dalam konteks hubunganya dengan orde baru saat itu." 

Jelas sekali bisa kita lihat bahwa isu Ahmadiyah telah digunakan oleh kelompok liberal lokal--sebagai pendukung utama Imperialisme AS-Zionis-Kapitalis--untuk memprovokasi, memecah-belah, dan mengadu-domba ummat Islam. Hal ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan Barat (terutama AS) dalam memperkokoh dominasi dan hegemoni mereka di bumi Indonesia.

Liberalisasi Ekonomi-Politik

Dulu waktu SD atau SMP, kita pernah belajar tentang strategi 
devide et impera-nya Belanda dalam menjajah Nusantara. Tapi kadang, meski kita belajar itu dalam sejarah, kita hanya menganggap itu seolah cuma dongeng, dan bukan sesuatu yang cukup serius dan perlu diwaspadai lagi hari ini, seolah-olah Belanda ataupun negara-negara Barat lainnya tidak akan melakukan itu lagi terhadap kita. Mungkin menurut kita, negara-negara Barat yang hari ini memasang wajah ramah di hadapan kita, yang membawa modal dan berinvestasi di negeri kita, tidak akan lagi menjajah kita.

Tapi, apa yang membuat kita yakin kalau negara-negara Barat tidak punya kepentingan lagi untuk mengadu-domba dan menguasai negeri kita? Lagipula, masa kalau satu negara mau menjajah harus bikin pengumuman, "Perhatian: Kepada rakyat Indonesia, kami mau menjajah kalian..", sangat tidak mungkin kan!? 

Kita tahu, hari ini penjajahan dilakukan dengan cara yang baru (meski tidak sama sekali berbeda), kalau dulu wilayah Nusantara (Hindia Timur) dijadikan koloni--diduduki dan dijadikan bagian dari negara penjajahnya--langsung, maka hari ini mereka merasa cukup dengan menguasai aset-aset ekonominya saja, melalui berbagai investasi dan peraturan perundangan yang mendudukung penguasaan perekonomian (pasar) bangsa kita oleh mereka. Karena itulah Amerika Serikat dan negara-negara pemilik modal (kapitalis) asing lainnya mendorong apa yang mereka sebut dengan liberalisasi pasar (pasar bebas), yaitu menghilangkan campur tangan negara dalam pengaturan pasar, baik berupa subsidi, pengaturan harga, penguasaan aset ekonomi, dsb--kecuali campurtangan yang menjamin dan menjaga kebebasan para kapitalis asing itu untuk menguasai negeri kita.

Kebijakan pengurangan subsidi BBM rezim SBY-Kalla merupakan salah satu contoh kecil (meskipun dengan dampak yang sangat besar) dari pelaksanaan liberalisasi pasar tadi, yaitu dengan mengurangi campur tangan pemerintah dalam mempengaruhi harga BBM di pasar negeri kita (melalui subsidi). Kita tentunya tahu kalau persoalan kenaikan harga minyak dunia sebenarnya cuma alasan saja dari rezim neo-liberal yang saat ini berkuasa untuk melancarkan aksi liberalisasi pasar mereka, karena, jauh sebelum terjadi kenaikan harga minyak dunia sekarang ini pun mereka sudah merencanakan liberalisasi sektor migas ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” 
(Eramuslim.com). Liberalisasi sektor hilir migas ini juga hanya salah satu saja diantara berbagai kebijakan liberalisasi lainnya.

Liberalisasi ekonomi Indonesia ini tentunya harus juga didukung dengan liberalisasi aspek-aspek lainnya, baik sosial, politik, budaya maupun agama. Dalam hal inilah liberalisasi Islam menjadi agenda yang tidak kurang pentingnya bagi kaum kapitalis internasional, khususnya di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim, terlebih saat ini Islam terbukti menjadi satu-satunya kekuatan yang tidak hanya potensial--tetapi juga 
manifest dalam resistensi terhadap agenda-agenda liberalisasi dan kepentingan-kepentingan Barat lainnya (setelah ancaman komunisme dianggap hilang dengan bubarnya Uni Sovyet, dan semakin terbukanya RRC terhadap liberalisasi pasar dan budaya Barat).

Upaya menaklukkan resistensi ummat Islam ini tidak hanya langsung mereka lakukan sendiri dengan berbagai lembaga--baik pemerintah maupun non-pemerintah, tetapi juga--seperti biasa--dengan memperalat individu-individu atau kelompok dari ummat Islam itu sendiri sebagai kaki tangan mereka, baik yang "negeri" maupun yang "swasta".
Liberalisasi Islam(Luthfi Assyaukanie, Koordinator Jaringan Islam Liberal, Jakarta)

Bisa kita lihat, meski mengelak untuk disebut kolaborator, tapi dengan tegas, Luthfi mengakui kesamaan agenda Islam Liberal dengan Barat. Terlebih, jika membaca analisa Sdr. Thoriq dalam
"JIL, CIA dan Imperialisme Barat", seperti disebutkan dalam artikelnya ini, "Dengan bahasa lain, JIL adalah ‘karyawan’ The Asia Foundation yang bertugas di lapangan, untuk menjalankan proyek-proyek besarnya ... Jelas, bahwa LSM The Asia Foundation memang bentukan CIA, didirikan sebagai alat, dan sarana untuk memperluas dan mempermudah proses imperialisme Amerika Serikat terhadap Negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik dengan cara non konfrontatif."

Lebih jauh, Luthfi juga menegaskan bahwa salah satu taktik untuk memuluskan agenda-agenda mereka adalah dengan menimbulkan perpecahan (disintegrasi) di antara umat Islam. Menurutnya, "kita tahu makalah awal-awal Cak Nur yang dibagikan secara terbatas ‘Antara Memajukan Mencerahkan Umat Islam dan Disintegrasi’. Disintegrasi dalam artian bahwa umat Islam sekarang ini tidak bersatu. 
Apakah anda mau umat Islam terus-menerus terbelakang akan tetapi bersatu, atau ingin mengubah cara mereka tetapi berpecah sedikit? Cak Nur dalam hal ini memilih disintegrasi, jelas sekali sikap Cak Nur sejak awal. Saya tidak mau umat Islam bersatu terus tapi juga bodoh terus. Maka harus kita lakukan terobosan-terobosan. Jadi Cak Nur lebih memilih jalan yang pahit. Dan saya kira seluruh gerakan pembaharuan Islam itu arahnya ke sana."(Luthfi Assyaukanie)

Salah satu terobosan utama itu adalah dengan mempropagandakan ide-ide liberalisasi Islam, baik melalui dukungan terhadap apa-apa yang mereka sebut dengan modernisme, pluralisme ataupun sekularisme, maupun berupa serangan terhadap apa-apa yang mereka cap sebagai fundamentalisme, ekstrimisme, dsb. Contoh yang cukup baru adalah, ketika umat Islam telah bersepakat dengan kesesatan Ahmadiyah, maka JIL dengan sengaja mendukung Ahmadiyah untuk menunjukkan bahwa seolah-olah ada perbedaan sikap di antara umat Islam. Lalu, dengan menggunakan kaki tangannya, menyebarkan opini ini kepada berbagai kelompok dan ormas Islam yang mereka susupi. 
(Hidayatullah.com)

Selanjutnya, ketika ada salahsatu kelompok dari ummat Islam yang menunjukkan reaksi keras terhadap upaya Barat melalui JIL tadi, maka merekapun akan memanfaatkan reaksi tadi untuk memecah-belah dan mengadu domba umat Islam, dengan memprovokasi ummat Islam dan memojokkan kelompok tadi.

Contoh yang terbaru adalah insiden Monas yang juga masih merupakan kelanjutan dari "skenario pemanfaatan Ahmadiyah". Kaum liberal, dengan mengatasnamakan kebebasan beragama dan Pancasila (Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama--AKKBB), berpura-pura membela Ahmadiyah agar terjadi benturan dengan kelompok Islam lainnya, dalam hal ini FPI dan kelompok-kelompok laskar Islam yang mereka cap sebagai fundamentalis, radikal, wahabiyah, bahkan kelompok yang katanya memperjuangkan "Arabisme". Strategi ini mereka maksudkan agar keberatan ummat Islam terhadap Ahmadiyah yang melakukan penistaan terhadap (doktrin) agama Islam, dianggap sebagai ancaman "Islam radikal" terhadap Pancasila dan kebangsaan. Bahkan, agar tidak hanya kaum nasionalis (sekuler) yang terpancing untuk masuk dalam 
fait a complimereka, kaum liberal juga menyeret Banser dan GP Anshor yang merupakan organisasi otonom dan kepemudaan Islam di bawah NU, sehingga diharapkan dapat memicu konflik yang lebih luas, terutama antara massa NU dengan FPI. Hal ini bisa kita lihat dengan penyerangan markas FPI di berbagai daerah oleh Banser ataupun GP Anshor. Tidak terkecuali bentrokan terakhir antara massa FPI dengan massa AKKBB, yang sengaja diarahkan untuk menjadi bentrokan FPI dengan Banser oleh Guntur Romli yang aktivis JIL.
Liberalisasi Islam Melalui Lembaga Pemerintahan dan Pendidikan

Selain melalui lembaga-lembaga semacam JIL, 
Lib4all, atau forum-forum antar umat beragama yang bisa dikatakan lembaga-lembaga "swasta" (ornop/LSM), mereka juga terus berupaya menjalankan agenda liberalisasi Islam melalui lembaga-lembaga pemerintahan seperti Tim Pengarasutaman Gender (PUG) bentukan Departemen Agama, yang kemudian menyusun draft Kompilasi Hukum Islam yang isinya kontroversial itu.

Seorang jurnalis Amerika, David E. Kaplan menulis, bahwa sekarang AS menggelontorkan dana puluhan juta dollar dalam rangka kampanye untuk--bukan hanya mengubah masyarakat muslim--tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24 negara muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat (versi AS). 
(David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005)

Berbicara tentang liberalisasi dalam pendidikan Islam, arsitek invasi AS ke Irak, Donald Rumsfeld (pada saat dia masih menjabat sebagai Menhan AS) mengatakan, "AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka." 
(Harian Republika, 3/12/2005)

Lebih jelas lagi jika kita membaca dokumen hasil penelitian dan rekomendasi RAND (lembaga konsultan kebijakan luar negeri AS) yang ditulis oleh Cheryl Benard, yg hampir merupakan manual bagaimana memecah-belah dan menguasai umat Islam utk kepentingan Barat (terutama Amerika).
Devide et Impera: Pecah dan Kuasai

Saya kutipkan sebagian dari ringkasan buku tsb:
Untuk mendorong perubahan positif dunia Islam dalam menghadapi demokrasi yang lebih besar, modernitas, dan kesesuaian dengan tata dunia internasional, Amerika Serikat dan Barat perlu mempertimbangkan dengan hati-hati elemen, kecenderungan, dan kekuatan-kekuatan dalam Islam mana yang akan mereka perkuat; apa tujuan-tujuannya dan beragam nilai-nilai sekutu dan protégés potensial mereka yang sebenarnya; serta akan seperti apa konsekuensi-konsekuensi lebih lanjut dari memajukan agenda mereka masing-masing. Sebuah pendekatan campuran dari beberapa elemen berikutmungkin adalah yang paling efektif:
• Mendukung kelompok modernis terlebih dahulu:
- Menerbitkan dan mendistribusikan karya-karya mereka dengan harga yang disubsidi.
- Mendorong mereka untuk menulis bagi khalayak pembaca dan kalangan muda.
- Mengenalkan pandangan-pandangan mereka ke dalam kurikulum pendidikan Islam.
- Memberi mereka panggung publik.
- Menyebarkan pandangan dan penilaian mereka atas pertanyaan-pertanyaan fundamental terhadap penafsiran agama kepada khalayak pembaca untuk menandingi kaum fundamentalis dan tradisionalis, yang memiliki situs-situs Web, penerbitan, sekolah, lembaga, dan berbagai kendaraan lainnya untuk menyebarkan pandangan-pandangan mereka.
- Tempatkan sekularisme dan modernisme sebagai sebuah pilihan 
“counterculture”bagi kaum muda Islam.
- Memfasilitasi dan mendorong suatu kesadaran atas sejarah serta kebudayaan pra- dan non-Islam mereka, dalam media dan kurikulum negara-negara terkait.
- Membantu pembangunan organisasi-organisasi sipil independepen, untuk mempromosikan kebudayaan sipil dan menyediakan ruang bagi warga biasa untuk mendidik diri mereka sendiri mengenai proses-proses politik serta untuk mengartikulasikan pandangan-pandangan mereka.
• Mendukung kelompok tradisionalis melawan fundamentalis:
- Mempublikasikan kritik-kritik kalangan tradisionalis terhadap kekerasan dan ekstrimisme kelompok fundamentalis; mendorong pertentangan diantara kaum tradisionalis dan fundamentalis.
- Mendorong kerjasama antara kelompok modernis dan tradisionalis yang lebih dekat dengan spektrum akhir modernis.
- Mendidik kalangan tradisionalis dalam mempersiapkan diri mereka untuk perdebatan-perdebatan melawan fundamentalis. Kaum fundamentalis
seringkali lebih unggul secara retoris, sedangkan kalangan tradisionalis merupakan “rakyat Islam” yang secara politis sulit berbicara. Di tempat-tempat seperti Asia Tengah, mereka mungkin perlu dididik dan dilatih dalam tradisi Islam orthodoks agar bisa menegakkan kedudukan mereka.
- Meningkatkan keberadaan dan penampilan kaum modernis dalam lembaga-lembaga tradisionalis.
- Mendiskriminasi sektor-sektor tradisionalisme yang berbeda. Mendorong kelompok-kelompok yang memiliki ketertarikan lebih besar kepada
modernitas, seperti mazhab Hanafi, melawan yang lain. Mendorong mereka untuk menerbitkan pendapat-pendapat keagamaan dan mempopulerkannya untuk melemahkan otoritas kekuasaan keagamaan Wahhabiyah yang terbelakang. Hal ini terkait dengan pendanaan: Uang Wahhabi mengalir untuk mendukung mazhab Hanbali yang konservatif. Hal ini juga terkait dengan pengetahuan: Belahan dunia muslim yang lebih terbelakang tidak menyadari perkembangan dalam pelaksanaan dan penafsiran hukum Islam.
- Mendorong popularitas dan penerimaan terhadap Sufisme.
• Mengkonfrontasi dan melawan kaum fundamentalis:
- Meragukan penafsiran mereka atas Islam dan mempublikasikan kekeliruan mereka.
- Memunculkan keterkaitan mereka dengan kelompok-kelompok dan aktivitas-aktivitas illegal.
- Mempublikasikan akibat-akibat dari tindakan kekerasan mereka.
- Menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk berkuasa, dalam mencapai pembangunan positif bagi negara-negara dan masyarakat mereka.
- Menyampaikan pesan ini terutama kepada kaum muda, warga tradisionalis yang saleh, minoritas muslim di Barat, dan kaum perempuan.
- Menghindari menunjukkan penghargaan atau kekaguman atas kekuatan kekerasan ekstrimis dan teroris fundamentalis. Sebut mereka mengganggu serta pengecut, dan bukannya pahlawan yang jahat.
- Mendorong para jurnalis untuk menyelidiki masalah-masalah korupsi, hipokrisi, dan immoralitas di lingkaran-lingkaran fundamentalis dan teroris.
- Mendorong perpecahan di antara kaum fundamentalis.
• Mendukung kelompok sekular secara selektif:
- Mendorong diakuinya fundamentalisme sebagai musuh bersama, mencegah aliansi kaum sekuler dengan kekuatan-kekuatan anti-AS pada landasan semacam nasionalisme dan ideologi kiri.
- Mendukung gagasan bahwa agama dan negara juga dapat dipisahkan di dalam Islam serta bahwa hal ini tidak membahayakan keimanan, bahkan memperkuatnya. Pendekatan atau campuran pendekatan manapun yang dipilih, kami rekomendasikan bahwa pilihan tersebut dilaksanakan dengan pertimbangan yang hati-hati, dengan mengetahui bobot simbolik masalah tertentu; maknanya dapat diartikan sebagai kesamaan para pengambil kebijakan AS dengan posisi-posisi tertentu dalam isu-isu ini; konskwensi kesamaan ini bagi para aktor Islam yang lain, termasuk resiko yang membahayakan atau mendiskreditkan kelompok-kelompok tersebut dan orang-orang yang kita mintai bantuan; juga beban peluang serta kemungkinan akibat-akibat yang tidak diharapkan dari afiliasi dan sikap yang mungkin tampak pantas dalam jangka pendek.

Dari kutipan di atas bisa kita lihat, bagaimana proyek liberalisasi dan memecah-belah ummat Islam ini dirancang sebagai bagian dari kebijakan luar negeri AS hingga cukup mendetail. Maka mudah-mudahan, dengan mengetahui rancangan skenario mereka, kita menjadi semakin waspada, serta bisa merumuskan dan mengambil langkah-langkah antisipatif terhadap rekayasa mereka yang gejalanya kita saksikan dalam berbagai insiden dan fenomena yang terjadi di tengah ummat dewasa ini.

WaLlohu a'lam.

SUMBER:
http://c4kra.multiply.com
Selengkapnya »»»

Sabtu, 04 September 2010

PANGERAN DIPENOGORO >> Ir. Arif Wibowo

Pangeran Diponegoro lahir pada 1785. Ia putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III (1811 – 1814). Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati, keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel Denta, seorang wali Sanga dari Jawa Timur.
Dalam bukunya, Dakwah Dinasti Mataram, Dalam Perang Dipnegoro, Kyai Mojo dan Perang Sabil Sentot Ali Basah, Heru Basuki menyebutkan, bahwa saat masih kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir. Heru Basuki mengutip cerita itu dari Louw, P.J.F – S Hage – M nijhoff, Eerstee Deel Tweede deel 1897, Derde deel 1904, De Java Oorlog Van 1825 – 1830 door, hal. 89.
Suasana kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh Belanda, tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil yang bernama Pangeran Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung.
Bupati Cakranegara yang menulis Babad Purworejo bersama Pangeran Diponegoro pernah belajar kepada Kyai Taftayani, salah seorang keturunan dari keluarga asal Sumatera Barat, yang bermukim di dekat Tegalrejo. Menurut laporan Residen Belanda pada tahun 1805, Taftayani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat AlMustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Penerbit Bulan Bintang Jakarta hal. 29).
Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja yang mengangkat adalah orang Belanda. Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).
Perang besar
Dalam bukunya, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, Kareel A. Steenbrink, mencatat, sebagian besar sejarawan menyepakati bahwa perang Diponegoro lebih bersifat perang anti-kolonial. Beberapa sebab itu antara lain: 1. Wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih Belanda, 2. Pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak, 3. Kekurangadilan di masyarakat Jawa, 4. Aneka intrik di istana, 5. Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar, 6. Kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga untuk kepentingan Belanda.
Namun menurut Louw, sebab-sebab sosial ekonomis tadi dilandasi oleh alasan yang lebih filosofis, yaitu jihad fi sabilillah. Hal ini diakui oleh Louw dalam De Java Oorlog Van 1825-1830, seperti dikutip Heru Basuki: “Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.”
Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya. “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa). (Lihat, P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, (2002)).
Kareel A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. Peter Carey dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa pada rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April 1979 di Universitas Oxford Inggris menyatakan keheranannya karena cukup banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu Yogyakarta, dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.
Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut.
Paduan motivasi agama dan sosial ekonomi ini menyebabkan Perang Diponegoro menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial, bahkan hampir membangkrutkan negeri Belanda. Korban perang Diponegoro: orang Eropa 8.000 jiwa, orang pribumi yang di pihak Belanda 7.000 jiwa. Biaya perang 20 juta gulden. Total orang Jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu baru tujuh juta orang, separuh penduduk Yogyakarta terbunuh.
Data ini menunjukkan, dahsyatnya Perang Diponegoro dan besarnya dukungan rakyat terhadapnya. Oleh bangsa Indonesia, Pangeran Diponegoro yang dikenal dengan sorban dan jubahnya, kemudian diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional, yang sangat besar jasanya bagi bangsa Indonesia. Louw dalam De Java Oorlog Van 1825 – 1830, menulis: “Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati keterlaluan.”
Demikianlah artikel penting yang ditulis Saudara Arif Wibowo tentang Pangeran Diponegoro. Informasi tentang Diponegoro tersebut perlu diajarkan di sekolah-sekolah kita, khususnya sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan Islam. Saya masih menemukan banyak sekolah Islam yang masih mengajarkan cerita tentang Diponegoro yang keliru dan tidak menggambarkan Diponegoro sebagai seorang pahlawan Islam. Seolah-olah Diponegoro berjuang melawan Belanda hanya karena urusan duniawi.
Kita berharap, pengelola lembaga pendidikan Islam, juga para orang tua bersedia meneliti buku-buku pelajaran anak-anaknya, agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan fakta yang sebenarnya.
Cobalah bertanya kepada anak-anak kita, apakah mereka memahami bahwa Islam masuk ke Indonesia adalah dibawa oleh para pedagang dari Gujarat India. Padahal, teori buatan Snouck Hurgronje itu sudah lama dijawab oleh para ulama dan sejarawan Muslim. Para pendakwah Islam di wilayah Nusantara ini bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah para pendakwah yang datang dari negeri Arab yang serius mendakwahkan Islam; bukan sekedar pekerjaan sambilan dari pekerjaan utama, yaitu berdagang.
Dalam berbagai kesempatan bertemu dengan lembaga-lembaga pendidikan, saya mengajak para pimpinan dan guru-gurunya, agar serius memperhatikan pelajaran sekolah anak-anaknya. Suatu ketika anak saya menyodori sebuah soal pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas VI Sekolah Dasar dari suatu sekolah Islam terkenal. Salah satu soalnya menceritakan bahwa ada seorang anak yang rumahnya jauh dari rumah. Setelah pulang sekolah ia harus membantu ibunya berjualan sampai Magrib. Usai shalat Magrib, dia masih harus mengaji, sehingga esoknya di sekolah dia kecapekan dan mengantuk.
Soal semacam ini seyogyanya tidak diberikan kepada anak didik, apalagi di sekolah Islam. Mestinya diajarkan bahwa meskipun anak tersebut rumahnya jauh, harus membantu orang tuanya berjualan, dan juga harus mengaji, tetapi si anak tetap dapat meraih prestasi dengan baik di sekolahnya. Faktanya, tidak sedikit anak-anak berprestasi di sekolahnya justru anak-anak yang suka belajar dan bekerja keras, meskipun berada dalam kondisi kehidupan yang tidak mudah.
Itulah pentingnya lembaga-lembaga pendidikan Islam melakukan perbaikan terhadap guru-guru dan kurikulum serta buku-buku pelajarannya. Kita berharap, dari sekolah-sekolah itulah akan lahir anak didik yang beradab. Yakni, anak didik yang mampu memandang dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai derajat yang ditentukan Allah SWT.
Seorang Pangeran Diponegoro harus diletakkan secara terhormat sebagai pahlawan pejuang agama Allah. Era reformasi dan keterbukaan harusnya mampu dimanfaatkan sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan Islam untuk merevisi, dan kalau perlu merombak, buku-buku pelajaran yang selama ini diajarkan kepada anak didik mereka.
Pelajaran sejarah sangat penting diberikan dengan mengungkap fakta dan perspektif yang benar untuk membentuk persepsi dan sikap hidup. Ketekunan, keikhlasan, kezuhudan, dan semangat jihad Pangeran Diponegoro seharusnya dipaparkan dengan benar kepada anak didik sehingga mereka tergerak untuk mengambil hikmah dan meneladani sang pahlawan Islam tersebut.
(Penulis artikel: Ir. Arif Wibowo)
Selengkapnya »»»