by: Adhian Husaeni |
Begitulah salah satu pernyataan tegas seorang pendukung paham Pluralisme Agama di Indonesia, seperti ia tulis dalam artikel di satu koran nasional. Pandangan semacam ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru. Klaim kebenaran agama bagi pemeluk masing-masing, dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Seolah-olah, kerukunan umat beragama harus dibangun di atas landasan teologi pluralis yang melarang setiap pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya masing-masing.
Maka, betapa tesengatnya pendukung Pluralisme Agama di Indonesia, ketika pada tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham Pluralisme Agama dan menyatakan sesat sejumlah aliran keagamaan. Karena itu, bisa dipahami, jika dalam berbagai seminar dan kesempatan, MUI menjadi bahan caci-maki. Banyak yang kelabakan. Bahkan ada yang kalap. Sebuah Jurnal yang diterbitkan di sebuah kampus Islam di Semarang pada edisi 28 Th XIII/2005, memuat laporan utama berjudul ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.” Dalam jurnal ini, misalnya, diturunkan wawancara dengan seorang aktivis HAM dengan judul ”MUI bisa Dijerat KUHP Provokator”. Ia membuat usulan untuk MUI: ”Jebloskan penjara saja dengan jeratan pasal 55 provokator, jelas hukumannya sampai 5 tahun.”
Amerika Serikat juga sangat getal mengucurkan dana untuk penyebaran paham Pluralisme, sehingga banyak yang ”menyambut” dengan gegap gempita. Dalam situsnya, (http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-AS.html), ditulis: ”Kedutaan mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program tiga-minggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan.”
Pluralisme Agama – sebagaimana yang banyak ditulis oleh para penganut dan penyebarnya -- memang bukan sekedar konsep toleransi, saling menghormati antar pemeluk agama, tanpa mengganggu konsep-konsep khas dalam teologi masing-masing agama. Menafsirkan QS al-Baqarah:62, sebuah disertasi doktor Ilmu Tafsir di UIN Jakarta menulis: ”Jika diperhatikan secara seksama, jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dengan keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal saleh – sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Quran.”
Pandangan dan penafsiran semacam ini tentu saja sangat keliru dan sama sekali tidak berangkat dari posisi teologis Islam. Ribuan mufassir al-Quran yang mu’tabarah sejak dahulu kala tidak ada yang memahami ayat al-Quran tersebut seperti itu. Sebab, dengan logika sederhana pun kita bisa memahami, bahwa untuk dapat "beriman kepada Allah" dengan benar dan beramal saleh dengan benar, seseorang pasti harus beriman kepada Rasul Allah saw. Sebab, hanya melalui Rasul-Nya, kita dapat mengenal Allah dengan benar; dapat mengenal nama dan sifat-sifat-Nya. Ini konsepsi teologis Islam.
Kaum Pluralis kadangkala memandang aspek keimanan ini sebagai hal yang kecil. Kata mereka, yang penting adalah nilai kemanusiaan. Manusia harus saling mengasihi, tanpa melihat agamanya apa; tanpa melihat jenis imannya. Tentu saja pandangan ini juga sangat keliru. Sebab, dalam kehidupan manusia pun, aspek pengakuan juga sangat penting. Anak menuntut pengakuan dari orang tuanya. Sebelum bekerja, Presiden juga perlu pengakuan dari rakyat bahwa dia adalah Presiden. Anak yang tidak mau mengakui orang tuanya disebut anak durhaka. Maka, pengakuan (syahadah) itulah yang diminta oleh Allah kepada umat manusia. Yakni, agar manusia mengakui bahwa Dia adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah; dan bahwa Muhammad saw adalah utusan-Nya yang terakhir. Apa beratnya manusia untuk mau membuat pengakuan semacam ini?
Ada yang bilang, bahwa soal iman kepada kenabian Muhammad saw itu adalah soal kecil saja; masalah yang tidak penting; jadi tidak usah dibesar-besarkan; yang penting adalah kehidupan yang harmonis dan hormat-menghormati antar sesama manusia. Coba tanyakan kepada kaum yang mengaku Pluralis itu, jika iman kepada Nabi Muhammad saw adalah soal kecil, mengapa banyak yang keberatan untuk mengakui bahwa Muhammad saw adalah seorang Nabi. Mengapa? Jika itu dianggap masalah kecil, mengapa hanya untuk soal yang “kecil” saja, mereka tidak mau iman? Jadi jelas, bagi kaum Muslim, ini bukan soal kecil.
Bukan hanya kaum Muslim yang memandang Pluralisme Agama sebagai ancaman serius. Tahun 2000, Vatikan juga mengeluarkan Dekrit Dominus Iesus yang menolak paham Pluralisme Agama. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya, Dupuis menyatakan, bahwa ‘kebenaran penuh’ (fullnes of thruth) tidak akan terlahir sampai datangnya kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi, katanya, semua agama terus berjalan– sebagaimana Kristen – menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam kerendahan hati karena kekurangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut.
Buku Toward a Christian theology of Religious Pluralism pada intinya menyatakan, bahwa Yesus bukan satu-satunya jalan keselamatan. Penganut agama lain juga akan mengalami keselamatan, tanpa melalui Yesus. Karena ajarannya itulah, pada Oktober 1988 ia mendapat notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman. Ia dinyatakan ”tidak bisa dipandang sebagai seorang teolog Katolik.” Surat itu ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger, yang kini menjadi Paus Benediktus XVI.
Jadi, Vatikan pun tidak bisa menerima pandangan semacam ini, yang menerima kebenaran semua agama. Vatikan bersikap tegas. Tentu saja, orang-orang liberal dalam Katolik juga protes dengan sikap itu. Sama halnya kaum liberal di kalangan Muslim, juga marah-marah terhadap fatwa MUI soal Pluralisme Agama. Untuk menegaskan kebenaran agama Katolik, pada 28 Januari 2000, Paus Yohanes Paulus II membuat pernyataan: “The Revelation of Jesus Christ is definitive and complete.” (Ajaran Jesus Kristus adalah sudah tetap dan komplit).
Setiap pemeluk agama pasti memiliki posisi teologis yang berbeda-beda. Perbedaan itu harus dihormati. Kaum Pluralis Agama memang tidak jelas posisi teologisnya. Ia bukan Islam, bukan Kristen, bukan Hindu, atau Budha. Benar kata Dr. Stevri Lumintang, posisi teologisnya memang ”abu-abu”. Karena itulah, Dr. Stevri mencatat, dalam bukunya, Teologia Abu-abu, Pluralisme Agama, bahwa: ‘’...Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru...’’ (***)
Pengumuman.....
BalasHapusdengan izin KETUA MAJELIS SYURA kami Pengurus Tingkat Pusat PeKaSe
denga ikhlas dan ridho se ridho-ridhonya menyatakan berdirinya agama baru.....agama PLURALISME.....
terima kasih
bagus...bagus....kelaut aja lo....!!
BalasHapus