Rencana Eretz Yisrael
Oleh Wawan Kurniawan
Oleh Wawan Kurniawan
“Dari Nil ke Eufrat” (Theodor Herzl, Complete Diaries, Vol.II, hal 771)
“Tanah yang Dijanjikan memanjang dari Sungai Nil ke Eufrat. Itu termasuk bagian Suriah dan Lebanon” (Testimoni Rabi Fischmann, anggota Jewish Agency for Palestine, di depan UN Special Committee of Enquiry pada 9 Juli 1947)
Tulisan Saudara Ibnu Burdah tentang “Rencana Strategis Israel” (Republika, 06/10) menarik untuk dicermati lebih jauh. Pencermatan itu diperlukan karena Ibnu Burdah tidak memfokuskan bahasan opininya apa sebenarnya rencana strategis Israel itu. Ibnu Burdah hanya sekadar memberi pengantar: batas final pada 2010.
Rencana Pendek 2010
Istilah yang lebih tepat dan sering dikatakan Ehud Olmert adalah batas permanen (permanent border). Olmert ingin batas permanen Israel selesai pada 2010 (David Makovsky, Olmert’s Bold Stand, USA Today, 19/05). Batas permanen ini diberlakukan hanya di Tepi Barat (West Bank) saja. Sedangkan, Jalur Gaza sudah mempunyai batas permanen karena wilayahnya yang mudah diatur (lihat Gaza Strip Border Crossings, Washington Institute for Near East Policy, 2005).
Ariel Sharon, sebelum terkena stroke, sudah menandaskan ketidaktertarikannya dengan Jalur Gaza. Jika melihat data CIA World Factbook 2005, Jalur Gaza merupakan wilayah sempit (620 km2) dengan penduduk padat (1.376.289 jiwa). Gaza memiliki pertumbuhan populasi 3,77 persen, rata-rata kelahiran 40,3 kelahiran per seribu penduduk, dan tingkat kesuburan 5,91 anak per wanita.
Gaza tidak cocok dengan tuntutan pemenuhan-meminjam istilah Nazi-lebensraum (ruang hidup) bangsa Yahudi di masa mendatang. Oleh karena itu, penarikan mundur tentara Israel dari Gaza pada 12 September 2005 kemarin bukan berdasarkan pada belas kasih atau tekanan internasional melainkan pada satu kenyataan saja: wilayah ini tidak layak untuk diduduki.
Tepi Barat merupakan wilayah dengan “tapal batas irisan” dengan wilayah Israel yang berliku-liku dan banyak kelokan. Ada beberapa bagian tanah Palestina yang menjorok ke wilayah Israel dan sebaliknya. Nah, batas permanen dibangun di atas bagian terluar wilayah Israel yang menjorok itu. Artinya, Israel akan mengakuisi tanah Palestina yang berada di dalam batas permanen itu secara sepihak.
Yang dimaksud tapal batas irisan adalah jalur hijau (Green Line) yang disebut juga sebagai batas wilayah sebelum perang 1967. Jalur hijau inilah yang diminta Hamas jika Israel menyetujui hudnah (gencatan senjata) selama 10 tahun.
Jika dihitung, batas permanen itu merampas 46 persen (2685 km2) wilayah Tepi Barat: 7,4 persen dari perbatasan lama (Green Line 1967), 2,1 persen blok, 8 persen tanah di belakang tembok, dan 28,5 persen Lembah Jordan. Bisa dipastikan batas permanen yang berupa tembok batu solid setinggi 10 kaki itu menusuk jauh ke dalam wilayah Tepi Barat dan mengeratnya menjadi enclave-enclave dengan begitu banyak checkpoint (pos pemeriksaan).
Jika Tembok Berlin sudah lama runtuh dan segregasi rasialis apartheid ala Afrika Selatan sudah lama berakhir, tembok “batas permananen” rasialis kini ada di Palestina.
Mengembangkan Perumahan
Olmert memiliki maksud tersendiri dengan batas permanen itu. Maksud itu berupa: ekspansi perumahan (settlement), mengamankan sumber air, dan mengukuhkan Jerusalem.
Di belakang tembok pembatas itu, Israel terus-menerus memperbesar kawasan pemukiman hingga mengepung Jerusalem Timur. Rencana E-1 (East-1 Plan) berusaha mewujudkan pemukiman Yahudi yang melingkari Jerusalem Timur: Givat Ze’ev di utara, Ma’aleh Adumim di timur, dan Etzion di selatan. Ma’aleh Adumim mencakup 53 km persegi dengan kapasitas mencapai 30 ribu residen.
Pada 1999, ada 177.441 orang Yahudi di Jerusalem Timur dan sekitarnya. Lalu bertambah menjadi 192.176 (2000) dan 203.443 (2001) (Israeli Settlements in the West Bank, Peace Now Settlement Watch, 31/12/01). Belum terhitung pada tahun 2006 ini.
Irosnisnya, dunia internasional (dan dunia Islam) tidak tanggap terhadap perkembangan ini. Sesungguhnya pembangunan pemukiman Israel itu jelas-jelas melanggar Resolusi DK PBB 446 (22 Maret 1979), 452 (20 Juli 1979), 465 (1 Maret 1980), dan 471 (5 Juni 1980). Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel selalu abstain dalam 4 resolusi tersebut.
Transfer orang Israel guna menempati pemukiman itu melanggar Protokol Jenewa Keempat pasal 49. Pasal itu menyatakan: “The Occupying Power shall not deport or transfer parts of its own civilian population into the territory it occupies.” Terlebih lagi, dalam Perjanjian Oslo (13 September 1993) Artikel V “Transitional Period and Permanet Status Negotiations” yang diagung-agungkan oleh Barat dan PLO itu sendiri tidak membahas masalah-masalah krusial seperti status Jerusalem, hak kembali para pengungsi dan pembangunan pemukiman Israel. Lengkap sudah ketidakberdayaan itu.
Menggenggam Jerusalem
Pengembangan perumahan dan transfer penduduk ini mempertegas kenyataan bahwa Israel tidak akan mengembalikan Jerusalam Timur ke Palestina. Israel merampas Jerusalem Timur pada perang 1967. Israel secara resmi menjadikan Jerusalem menjadi ibu kota melalui sebuah UU Dasar (Basic Law)pada 30 Juli 1980. “Jerusalem, complete and united, is the capital of Israel.” Tidak lama setelah itu, tepatnya 20 Agustus 1980, DK PBB mengeluarkan Resolusi 478 yang menentang penjadian ibu kota itu.
“Kota ini adalah kota yang dipilih Tuhan sebagai ibukota bangsa Yahudi. Tidak ada kekuatan di dunia yang bisa mengubahnya,” pesan mesianis Olmert kepada turis-turis Kristen yang datang melalui International Christian Embassy in Jerusalem (ICEJ) (Yedioth Ahronoth, 08/10). ICEJ dibentuk pada 1980-an untuk mendukung Israel.
Politik Air
Air dan nuklir adalah dua penopang utama eksistensi Israel di Timur Tengah. Air adalah sumber daya yang harus dikuasai Israel, bukan minyak. Karena menurut penulis, konflik abadi di Timur Tengah setelah minyak habis (peak) adalah air. “History reveals that water has frequently provided a justification for going to war: It has been an object of military conquest, a source of economic or political strength and both a tool and a target of conflict.” (James R. Lee dan Maren Brooks, Conflict and Environment: Lebanon’s Historic and Modern Nightmare, 1996)
Sebelum perang 1967, Israel hanya menguasai dua sumber air: laut (yang didesalinisasikan) dan Sungai Dan. Tetapi setelah 1967, Israel mendapat tiga sumber tambahan: Lembah Jordan, Sungai Banias (utara Dataran Tinggi Golan), dan Sungai Hasbani.
Sengketa Israel dengan negara-negara tetangga disebabkan oleh pendefinisian batas wilayah yang notabene terdapat (atau dekat dengan) sumber air. Suriah menuntut “penetapan kembali batas 1967″ yang dengan itu memungkinkan Suriah mengakses Sungai Jordan dan Laut Galilee. Konflik air Israel-Jordan diselesaikan di Wadi Araba pada Oktober 1994. Demikian halnya dengan Palestina-Israel (Sharif S Elmusa, The Water Issue and the Palestinian-Israeli Conflict, The Center for Policy Analysis on Palestine, Desember 1993).
Hampir separuh dari air yang digunakan oleh Israel berasal dari pertarungan dan perampasan dengan tetangganya (Thomas R Stauffer, Water and War in the Middle East: The Hydraulic Parameters of Conflict, The Center for Policy Analysis on Palestine, Juli 1996). Dan karena itu, mustahil bagi Israel mau mengembalikan kawasan yang terduduki semisal Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan kepada pemilik aslinya (Isabelle Humphries, Breaching Borders: The Role of Water In The Middle East Conflict, Washington Report on Middle East Affairs, September/Oktober 2006).
Sheeba Farm yang dijadikan Israel sebagai batu loncatan merampas Sungai Litani. Ada dugaan, perang Juli kemarin mengupayakan area Sungai Litani sebagai zona aman dengan membersihkan Hizbullah. Sungai Litani yang mempunyai kemampuan menghasilkan 920 juta meter kubik air bersih kualitas tinggi per tahun hanya berjarak 4 km dari perbatasan Israel.
Israel sudah lama ingin menguasai Sungai Litani (lihat Hussein A Amery, The Litani River of Lebanon, The Geographical Review, July 1993; Arnon Soffer, The Litani River: Fact and Fiction, Middle Eastern Studies, Oktober 1994; Ronald Bleier, Israel’s Appropriation of Arab Water: An Obstacle to Peace, Middle East Labor Bulletin, Spring 1994). Ben Gurion dan Moshe Dayan (Kepala Staf Tentara Israel 1953-1958) berungkali menyarankan penguasaan Sungai Litani.
Bahkan ketika perang 34 hari kemarin telah usai dan pasukan PBB telah tiba, Israel masih mencuri air Lebanon. Sebuah harian terbitan Beirut (Daily Star, 25/09) memberitakan hal tersebut.
Konflik Internal Palestina
Kisruh internal Palestina antara Hamas sebagai pemenang pemilu 25 Januari 2006 dengan Fatah yang telah berkuasa selama sepuluh tahun lebih membawa keuntungan sendiri bagi Israel. Ketiadaan soliditas Palestina membuat Israel bisa menjalankan agenda-agenda besarnya.
Meski dari permukaan luarnya Israel menganggap perseteruan Hamas-Fatah sebagai masalah internal Palestina (Financial Times, 10/6), ada sinyalemen Israel membantu salah satu pihak yang bertikai.
Terbetik kabar, Abbas meminta izin dari Israel untuk memperbesar jumlah pasukan pengawalnya, Force 17, dari 2 ribu menjadi 10 ribu (Ha’aretz, 28/05). Ekspansi pasukan ini mendapat bantuan senjata dari Israel melalui negara ketiga (Ha’aretz, 29/05). Ini menjawab kontroversi klaim Israel yang mengirim senjata ke Palestina (Mail & Guardian, 26/05) meskipun disangkal Fatah.
Lawatan Menlu AS Condoleezza Rice ke Timur Tengah kemarin mampir di Tel Aviv dan juga menemui Abbas. Tak lama sesudah itu, AS memberi bantuan 20 juta dolar kepada Fatah untuk memenangi pertarungannya dengan Hamas (VOA News, 05/10).
Melalui dua organnya yang sering campur tangan di negara-negara berkembang, National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institute (IRI), AS menyalurkan 42 juta dolar guna memperkuat kelompok-kelompok anti pemerintah (Reuters, 14/10).
Bulan-bulan ke depan akan menjadi ujian berat bagi Hamas. Mesir, Qatar, dan Jordan memberi peringatan bahwa Israel mempersiapkan operasi masif ke Jalur Gaza guna membebaskan Gilad Shalit. Bersamaan dengan itu, Fatah bersiap melanjutkan konfontrasinya (Fatah preparing showdown with Hamas, Jerusalem Post, 24/10).
Setali Tiga Uang, Buruh-Kadima-Likud
Kenyataan polarisasi di ranah politik Israel, yaitu kiri (Buruh), tengah (Kadima), dan kanan (Likud) tidaklah merefleksikan polarasasi kebijakan luar negeri. Mereka sama berkonvergen pada pendirian negara Israel di tanah Palestina.
Kadima merupakan sempalan Likud. Sedangkan Likud merupakan pengusung ide-ide nasionalis kaum Zionis Revisionis yang digagas oleh Zeev Jabotinsky. Di kalangan Yahudi, bisa dikatakan Jabotinsky adalah pemikir terbesar setelah Theodore Herzl.
Kaum Revisionis mengklaim daerah antara Sungai Eufrat dan Sungai Nil sebagai tanah Yahudi (Paul Findley, Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the US-Israeli Relationship, 1993). Dua ideolog utama Likud, Menachem Begin dan Yithak Shamir adalah murid langsung Jabotinsky.
Visi Buruh juga sama saja. “Mimpi batas Israel meliputi selatan Lebanon, selatan Suriah, Jordan hari ini, Tepi Barat, dan Sinai” dinyatakan oleh Ben Gurion di pertemuan World Council of Poale Zion (cikal bakal Buruh) 1938. Tokoh Buruh lainnya, Yithak Rabin, semasa menjadi menteri pertahanan (1984-1990) mengeluarkan kebijakan kontroversional “mematahkan lengan dan kaki” para demonstran intifada Palestina yang umumnya adalah anak-anak dan remaja.
Jabotinsky mendirikan Haganah (Defender). Begin dengan Irgun Zvai Leumi (National Military Organization), Shamir dengan Lehi (Lohamei Herut Yisrael/Freedom Fighters of Israel), dan Rabin dengan Palmach (penyerang). Semuanya adalah organisasi paramiliter yang menyokong pendirian negara Israel dengan meneror warga Arab (Cf. J. Boyer Bell, Terror out of Zion: The Irgun, Lehi Stern and the Palestine Underground, 1977).
Jika-mengutif Paul Fenley-Likud adalah nasionalisme mesianis dan Buruh sebagai sekuler pragmatis, Kadima adalah sinkretis keduanya. Hanya dalam waktu 3 bulan semenjak dinyatakan sebagai pemenang pemilu 2006, Kadima sudah berani membuat ulah dengan menginvansi Lebanon.
Olmert (61 tahun) dan menlu sekarang, Tzipi Livni, merupakan Likudites. Shimon Peres (83), wakil PM, awalnya merupakan aktivis kawakan Buruh yang kemudian bergabung dengan Kadima karena ajakan Ariel Sharon. Emir Peretz, ketua Buruh, menjadi menhan dalam kabinet Olmert. Dulunya, Peretz adalah anggota awal gerakan kiri Peace Now.
Jelas, warna Likud lebih dominan daripada Buruh. Olmert dengan sepengetahuan Peres membuat kesepakatan bahwa Livni-lah yang akan menjadi pengganti Olmert bila Olmert tidak dapat bertugas sebagaimana mestinya. Olmert sendiri sudah memberi sinyal akan menggeser ke kanan (New York Sun, 10/10).
Kabar terbaru, partai yang paling kanan (extreme right), Yisrael Beiteinu (Israel Rumah Kita), telah bergabung dengan aliansi Kadima-Buruh sejak 23 Oktober kemarin. Sebelas kursi Yisrael Beiteinu menyebabkan kursi total pendukung Olmert menjadi 80 atau dua pertiga parlemen.
Sang pemimpin partai fasis ini, Avigdor Lieberman, mendapat kursi baru s”Kementerian Ancaman Strategis” yang khusus merespon perilaku Iran. Sebenarnya, Lieberman adalah politisi hasil kaderisasi Netanyahu. Dia sempat menjadi orang penting Likud pada 1993-1996.
Lieberman adalah otak penentu kesuksesan Netanyahu pada kampanye 1996. Sharon memuji Lieberman sebagai menteri yang paling kapabel dalam kabinet 2001 dan 2003 (Scotsman, 10/23). Bisa dikatakan, Lieberman adalah “bayangan” Netanyahu dengan tipikal khusus: banyak bicara.
Sebuah poling yang dipublikasi harian terkemuka Israel Yedioth Ahronoth (21/10) mendudukkan Lieberman sebagai orang kedua yang pantas menjadi PM Israel mendatang setelah Netanyahu. Oleh karena itu, Lieberman dan Livni (keduanya sama-sama berumur 48 tahun) merefleksikan bagaimana Israel di masa depan.
Memang benar kelahiran Kadima mengguncangkan konstelasi politik Israel tetapi tidak untuk Timur Tengah. Pada dasarnya, Kadima adalah wajah lain Likud dan Buruh. Harapan besar yang digantungkan oleh media massa Barat kepada Kadima adalah propaganda absurd yang menyesatkan.
Pembangunan batas permanen, perluasan pemukiman, pengepungan Jerusalem, dan pencurian air memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Semua itu berjalan mulus dan lancar karena terselubungi oleh masalah-masalah yang sebenarnya tidak signifikan. Masalah-masalah yang direkayasa oleh Israel untuk mengalihkan perhatian dunia internasional dari apa yang sebenarnya terjadi.
Tahun 2010 hanyalah rencana transisi saja. Visi Israel yang sebenarnya adalah seperti gambar bendera nasionalnya: bintang David di antara garis biru atas dan bawah. Hal itu berarti men-Zionis-kan wilayah-wilayah di antara Sungai Nil dan Eufrat. Itulah Eretz Yisrael (Israel Raya).
sumber: http://kainsa.wordpress.com