Kamis, 29 Juli 2010

Gerakan Misionaris Membonceng Kolonialisme, Kapitalisme, Berikutnya Apa? ~by Ahmad Fahmi


Peringatan Allah SWT di Surah Al Baqarah [02]:120 tentunya sudah tidak diperdebatkan lagi. Bahwa kedua musuh Islam yang disebutkan di sana (Kristen dan Yahudi) akan selalu memusuhi, memerangi umat Islam hingga muslim mengikuti, tunduk kepada mereka dan upaya mereka ini tidak akan berhenti hingga akhir zaman.
Perang Salib adalah bentuk pertama atau setidaknya upaya terbesar pertama orang Kristen memerangi umat Islam, sepeninggal Rasulullah SAW. Dengan semboyan "Deus Le Volt" pada 1096, Paus Urbanus II memprovokasi 300.000 orang Kristen untuk berangkat merebut Yerussalem.
Berikut seruannya: "Negeri kalian telah padat penduduknya, dan dari semua sisi tertutup laut dan pegunungan. Tak banyak kekayaan disini, dan tanahnya jarang membuahkan hasil pangan yang cukup buat kalian. Itulah sebabnya kalian sering bertikai sendiri..... Bergegaslah menuju Makam Kudus, rebutlah kembali negeri itu dari orang-orang jahat, dan jadikan milik kalian. Negeri itu, seperti dikatakan di dalam AlKitab, berlimpah susu dan madu, Allah memberikannya kepada anak-anak Bani Israel. Yerussalem, negeri terbaik, lebih subur daripada lainnya seolah-olah sorga kedua. .... Bergegaslah, dan kalian akan memperoleh penebusan dosa, serta pahala di Kerajaan Surga."
Kolonialisme
Riwayat Kristenisasi di Indonesia dimulai dengan datangnya para kolonialis. Spanyol, Portugis, Belanda, dan kemudian Inggris. Selama lebih dari tiga abad Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia sekaligus memiliki kekayaan alam yang melimpah berada di bawah penjajahan. Motif yang dibawa oleh para Imperium ini adalah gold, glory dan gospel. Kekayaan, penguasaan dan penyebaran ideologi.
Kolonialisme berusaha mengembangkan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya dengan tujuan mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut.
Kapitalisme
Setelah Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, negara-negara bekas jajahan di wilayah Asia Afrika menegaskan diri untuk bebas dari penjajahan, diskriminasi, penindasan, kemiskinan, dan perbudakan. Dan diamini bahwa saat itu adalah tonggak di mana imperialisme (penjajahan) sudah berakhir. Namun tidak disadari bahwa bentuk Imperialisme telah berubah ke wajah baru yakni Kapitalisme.
Sistem ini hanya berpihak pada pemilik modal. Mereka sah melakukan usaha apapun untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dan pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama. Inilah prinsip-prinsip yang dianut dalam sistem Kapitalisme.
Pemilik modal menjadi dewa, sedangkan produsen justru menjadi sapi perah yang ditindas dan dihisap oleh kapitalis. Negara adalah pelayan kaum kapitalis. Negara harus membuat undang-undang untuk melindungi kepemilikikan kapital kaum kapitalis. Juga negara harus melaksanakan kebijakan politik yang melindungi dan menguntungkan kaum kapitalis.
Hasil dari Kapitalisme adalah terciptanya kesenjangan yang luar biasa. Rudolf H. Strahm (1980) menulis, negara-negara industri dengan penduduk hanya 26% dari jumlah penduduk dunia telah menguasai lebih 78% produksi dunia, 81% perdagangan dunia, 70% pupuk, dan 87% persenjataan dunia. Sedang 74% penduduk (di Asia, Afrika, dan Amerika Latin) hanya menikmati sisanya, yakni seperlima produksi dan kekayaan dunia.
Contoh ExxonMobil, pada tahun 2007 memperoleh keuntungan sebesar 40,6 milyar dolar AS, nilai penjualan ExxonMobil mencapai 404 milyar dolar AS. Ini melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Kita harus memberikan catatan tegas, negara kapitalis dengan perusahaan multinasionalnya memang sejahtera, namun mereka memiskinkan negara berkembang.
Strategi Kristenisasi
alt
Pak, peneliti Cina dalam bukunya yang berjudul China and The West mengutip ucapan Napoleon sebagai berikut,
"Delegasi misionaris agama bisa memberikan keuntungan buatku di Asia, Afrika, dan Amerika karena aku akan memaksa mereka untuk memberikan informasi tentang semua negara yang telah mereka kunjungi. Kemuliaan pakaian mereka tidak saja melindungi mereka, bahkan juga memberi mereka kesempatan untuk menjadi mata-mataku di bidang politik dan perdagangan tanpa sepengetahuan rakyat."
Dalam masa kolonialisme, para misionarislah yang dijadikan pembuka jalan bagi imperialis dengan menghancurkan moral penduduk pribumi. Kemudian dengan aksi kristenisasinya mereka mengubah aqidah muslim sehingga mempunyai aqidah seperti mereka. Mereka melakukan pemurtadan terhadap umat Islam di Indonesia yang mereka istilahkan sebagai 'penuaian jiwa'.
Sementara pemerintahan imperialis melindungi aktivitas misionaris agar penyebaran millah mereka terus berjalan. Setelah itu apapun yang dilakukan para pedagang dan pengeruk harta, perampok kekayaan alam ini menjadi benar dan tidak mendapatkan perlawanan.
Dengan berjalannya waktu, perkembangan pendidikan, pengetahuan dan teknologi membuat masyarakat makin cerdas. Maka strategi 'penuaian jiwa' menjadi kurang ampuh, mengingat ajaran Kristen sendiri memiliki kelemahan internal sehingga orang yang berakal sehat tidak akan sudi secara sadar memeluknya.
Oleh karena itu, strategi kedua dianggap lebih realistis dan efektif, yaitu mengeluarkan orang Islam dari agamanya atau menjauhkannya dari ajaran Islam. Dalam Konferensi Misionaris di kota Quds (1935), Samuel Zweimer, seorang Yahudi yang menjabat direktur organisasi misi Kristen, menyatakan,
"Misi utama kita bukan menghancurkan kaum Muslim sebagai seorang Kristen... Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, generasi yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi malas dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsu."
Semua isme/ideologi di Barat masuk seiring bentuk imperialisme baru yakni kapitalisme. Sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, nasionalisme, dll tumbuh subur dalam sistem kapitalisme yang kesemuanya mempunyai satu tujuan, menciptakan generasi muslim yang tidak lagi memiliki Islam di hatinya. Dan generasi inilah yang kita dapati di mall-mall atau tempat-tempat hiburan di kota-kota, generasi yang disebut lebih barat ketimbang orang barat, lebih Amrik ketimbang orang Amerika.

alt

Mengapa misionaris mau bekerjasama dengan imperialis?
Jika di era kolonialisme para misionaris membonceng dengan pembagian tugas sebagai pembuka lahan bagi masuknya para imperialis. Maka di era kapitalis para misionaris menggunakan fasilitas-fasilitas kapitalisme yang berprinsip membolehkan cara apapun untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya sehingga mencampakkan segala norma. Maka tumbuh suburlah benih-benih isme yang diciptakan untuk menjauhkan muslim dari aqidah Islam.
Kapitalis dan misionaris bersimbiosis mutualisme untuk menguasai dunia Islam. Negara-negara Barat dan perusahaan-perusahaan multinasionalnya menanamkan modal yang sangat besar pada yayasan-yayasan misionaris. Di tahun 1970 saja, aktivitas misionaris telah menghabiskan 70 miliar dolar (David Waren, penanggungjawab Ensiklopedia Dunia Kristen). Menurutnya, kurang dari dua dekade jumlah ini telah mencapai hampir dua kali lipatnya dan akan terus meningkat.
Muhammad Imarah mencatat, pada 1991, Organisasi Misionaris Dunia memiliki 120.880 lembaga khusus untuk kegiatan Kristenisasi di kalangan Islam; 99.200 lembaga pendidikan untuk mencetak kader penginjil; 4.208.250 tenaga profesional; 82 juta komputer; 24.000 majalah; 2.340 stasiun pemancar radio dan televisi; 10.677 sekolah dengan jumlah 9 juta siswa; 10.600 rumah sakit; 680 panti jompo; 10.050 apotik; anggaran kegiatan kristenisasi sebesar 163 miliar dolar. Dan sekarang pastinya lebih dari itu.
Kapitalisme diujung maut
Pada hakikatnya, kolonialisme merupakan bentuk penjajahan/imperialisme secara fisik. Sedangkan Kapitalisme adalah penjajahan secara non fisik. Perubahan sistem penjajahan dari kolonialisme menjadi kapitalisme semata-mata juga karena hitungan materi.
Pemenang hadiah nobel Joseph E. Stiglitz, juga mengkhawatirkan AS akan terpuruk pada depresi hebat. Dan ia pun mengingatkan negara-negara peniru sistem kapitalisme AS, untuk bersiap-siap hancur. "Upaya penyelamatan Bush berupa kucuran dana US$ 700 milyar dan nasionalisasi sejumlah bank adalah tanda kematian sistem kapitalisme ala AS," ujarnya.
Aksi Boikot yang menyebar ke seluruh penjuru dunia bisa jadi merupakan pemicu gerakan yang menyebabkan runtuhnya kapitalisme secara global. Mesin uang zionis ini sekarang berada diujung maut. Namun perlu diingat, matinya kapitalisme bukan berarti matinya kristenisasi atau gerakan misionaris.
Gerakan ini tetap akan ada dengan membonceng pada kendaraan berikutnya. Maka, hendaknya muslim mengenali musuh sesungguhnya, seperti peringatan Allah SWT dalam Al Baqarah [02]:120, musuh umat Islam bukanlah isme/sistem namun siapa pembuat isme/sistem tersebut.
sumber: http://www.suara-islam.com/
Selengkapnya »»»

Minggu, 25 Juli 2010

Gerakan FEMINISME, kembali ke "Sunnatullah" oleh Santi Soekanto*





Salah satu icon feminisme Barat, Gloria Steinem, menulis dalam majalah kaum feminis terkemuka Ms. (edisi

musim panas 2003), sebuah artikel yang bernostalgia tentang kehidupan manusia primitif Australia berabad lalu. Menurut Steinem kehidupan kaum primitif Australia itu ditandai pembagian kekuasaan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan antara manusia dengan alam, karena semuanya adalah bagian dari satu kesatuan yang sama.

Dalam artikel berjudul Remember Our Power (Ingatlah Kekuatan/Kekuasaan Kita) itu Steinem menggambarkan harmoni ketika para kepala suku memang dipilih dari kalangan pria tetapi dengan mendengarkan nasihat kaum wanita. "Semua ini memiliki satu tujuan, keseimbangan, antara pria dan wanita, antara tiap manusia dengan masyarakatnya, antara manusia dan alam– kalau pun memang semuanya itu dianggap terpisah satu sama lain."

Sungguh kedengaran indah dan harmonis, bukan? Namun bandingkan dengan artikel Steinem di majalah Ms. Oktober 1978 yang berjudul If Men Could Menstruate (Kalau Saja Lelaki Bisa Menstruasi) yang penuh dengan olok-olok tentang betapa apa pun yang melekat pada diri pria akan dijadikannya alasan untuk menancapkan supremasi kekuasaan mereka. Kalau saja lelaki bisa mens, menurut Steinem, maka akan terjadilah male competition tentang misalnya "Saya ganti pembalut 3 kali sehari, Anda berapa?" "Berapa lama Anda mens? Wah, banyakan juga saya!" atau bahkan dijadikannya mens sebagai syarat untuk menjadi tentara ("Anda harus meneteskan darah diri sendiri sebelum meneteskan darah orang lain!").

Salah satu icon feminisme lainnya adalah Germaine Greer yang sekitar 30 tahun lalu menulis buku terkenal berjudul The Female Eunuch. Dia berargumentasi bahwa menjadi perempuan dan ibu rumah tangga saja tidaklah cukup bagi wanita. Buku ini menjadi semacam kitab suci kaum feminis. Pada tahun 1999 Greer menerbitkan buku barunya, The Whole Woman, yang menggambarkan perjalanan melelahkan kaum feminis dalam upaya mereka memperjuangkan kesetaraan gender.

Greer menggambarkan betapa pada akhir 60-an, yang disebut kebebasan seakan-akan demikian dekat dan dapat dicapai. Pada tahun 1999, yang mereka saksikan adalah semakin memudarnya cita-cita mereka – bukan saja karena negara dan pemerintahan dianggapnya masih terus mempertahankan pola kekuasaan lama, tetapi juga tidak bertambah banyaknya perempuan yang mengadopsi konsep feminisme yang pertama kali diusung di Barat ini. Selain itu, yang terpenting, Greer masih menyoroti apa yang dianggapnya sebagai dominasi pria, tetapi juga tampak mulai menyadari bahwa ada hal-hal yang tak bisa diubah dari spesies yang bernama manusia ini.


Greer menggambarkan betapa sesudah berpuluh tahun gerakan feminisme, gadis-gadis kita masih dijajah oleh konsep "wanita cantik" yang sama – miliaran anak perempuan berdiet keras dan menghabiskan uang untuk kosmetika dan fashion agar menjadi objek seks dan kegairahan pria. Bahkan, menurut Greer, "kebebasan seks yang menyertai revolusi gender malahan lebih sering merugikan wanita." Apa yang disebut "kebebasan seks" hanya menguntungkan pria, kata Greer, karena wanita terus saja harus merasakan efek terpentingnya yakni kehamilan, sementara tubuh laki-laki sama sekali tidak terpengaruh.
Satu lagi area yang menggambarkan betapa feminisme berpuluh tahun tidak berefek baik pada wanita adalah pornografi. Greer menyoroti betapa sesudah feminisme yang berusaha menjadikan wanita sebagai subjek, industri pornografi yang menghina dan merendahkan wanita dan menjadikannya objek seks terus menggelembung menjadi industri miliaran dolar tiap tahunnya!

Akhirnya Germaine Greer mengakui bahwa berbagai strategi yang dipakai di tahun 1960-an tidaklah membawa hasil yang jelas kalau bukan malahan membawa kerusakan. Yang terjadi saat ini bukanlah pembebasan wanita dari ketertindasan tetapi tidak lebih dari sekedar menggantikan ketergantungan wanita dari satu hal ke hal lainnya. Wanita memberontak dari ketergantungannya terhadap pria di awal gerakan feminisme, terutama di tahun 1970-an, tetapi mereka kini ganti tergantung pada hal-hal lain seperti industri kosmetika dan fashion.
Contoh terakhir adalah satu lagi icon feminisme, perempuan aktivis feminisme dari kalangan Yahudi yang ikut berperan besar dalam penggodokan Plan of Action Konferensi Beijing 1995 yang bernama Bella Abzug. Selama puluhan tahun Bella berada di garis depan kaum feminisme yang menyuarakan kemandirian dan kesamaan hak bagi perempuan di segala lini. Ketika Bill Clinton berkuasa, dia menjadi salah satu pendukung vokal Partai Demokrat. Di belakang wanita yang tampak perkasa ini terdapat Martin, suaminya yang pendiam yang selalu mendukung semua sepak terjangnya. Dalam Ms. 1990, Bella menulis artikel "Martin, What Should I Do Now?" (Martin, Apa yang Harus Kulakukan Kini?) tentang betapa kematian Martin membuatnya bagai kapal kehilangan kemudi.

"Saya memiliki reputasi sebagai seorang perempuan mandiri, dan memang saya mandiri. Tetapi jelaslah sebenarnya saya tergantung pada Martin. Dia sering merengkuhku ke dadanya yang berbulu dan hatinya yang hangat untuk melindungiku dari semua kebusukan yang mesti dialami orang-orang yang hidup di jalanku ini. Apa yang bisa kukatakan? Hanyalah ini, ‘Hargailah hubungan (antarmanusia) dan lakukan apa saja yang bisa kau lakukan untuk memeliharanya’. Belum lama ini saya bermimpi dan bertanya kepadanya, ‘Martin, Martin, apa yang harus kulakukan sekarang?’ Dia hanya tersenyum lalu menghilang."

Ketiga ikon feminisme ini, Gloria Steinem, Germaine Greer, dan Bella Abzug, menggambarkan sebuah perubahan besar yang terjadi dalam kurun waktu beberapa dasawarsa, yaitu sebuah pergeseran pemikiran feminisme yang sangat signifikan mengenai posisi mereka dalam relasi gender dan kekuasaan. Diawali gerakan emansipasi di Amerika awal tahun 1900an, ketika wanita menuntut hak dan perlakuan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, kaum feminis menggunakan battle-cry atau teriakan perang yang beragam, mulai dari "persamaan hak", "persamaan kekuasaan", "perbedaan pria dan wanita hanyalah soal pengasuhan dan social concepts" sampai kemudian, akhir-akhir ini, kesadaran bahwa perbedaan pria dan wanita memang bersifat biologis dan tidak bisa dielakkan. Pendulum gerakan feminisme mulai berayun ke arah yang berlawanan dengan gerakan di awal-awal lahirnya dulu.

Professor T.J. Winters --yang sesudah Muslim kini bernama Abdal-Hakim Murad (Universitas Cambridge), mencatat bahwa feminisme tahun 1960-an dan 1970-an adalah "feminisme kesejajaran" yang berjuang menghancurkan ketimpangan gender yang menurut mereka semata-mata social constructs yang bisa diubah lewat pendidikan dan media. Sedangkan feminisme tahun 1990-an adalah "feminisme perbedaan" yang berakar pada semakin tumbuhnya kesadaran bahwa faktor alami (nature) itu sama pentingnya dengan faktor pengasuhan (nurture) dalam pembentukan perilaku pria dan wanita.

Kesimpulan Murad dalam artikelnya Boys will be Boys ini adalah bahwa pada akhirnya memang ada faktor-faktor tak terbantahkan yang bertanggungjawab pada perbedan pria dan wanita – dan ini semakin lama semakin diterima oleh para pemikir feminisme.

Berbagai eksperimen untuk membuktikan bahwa PRIA DAN WANITA SERATUS PERSEN SAMA sudah menyebabkan banyak kerugian. Contohnya, ketika pada tahun 1997 pemerintah Inggris memberlakukan "gender free approach" dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan ujian fisik yang sama kepada kadet pria dan wanita maka yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di kalangan kadet wanita. Dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena hamil di perjalanan menuju atau di medan perang, sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol. Kapal itu kemudian diolok-olok dan diganti namanya menjadi The Love Boat.

Di manakah posisi kaum feminis sekarang di Indonesia, baik yang mengaku feminis Muslim maupun feminis doang? Sama seperti banyak wacana di Indonesia yang kerap kali masih ketinggalan beberapa dasawarsa dari yang berlangsung di Barat, mereka ketinggalan beberapa langkah. Kebanyakan feminis di sini masih menyuarakan gender equality dan ramai memprotes yang mereka sebut "dominasi budaya patriarki".

Dalam waktu tak lama lagi, insya Allah, perlahan-lahan, mereka pun akan mengalami ayunan pendulum yang sejajar dengan kawan-kawan mereka di Barat. Mungkin lebih cepat karena semakin canggihnya teknologi informasi dan media. Mari mendoakan agar pada akhirnya bukan sekedar berayun ke arah kesadaran baru tentang tidak terbantahkannya perbedaan pria dan wanita, tetapi juga agar mereka sampai pada kesadaran adanya sunnatullah mengenai peran dan posisi wanita dan pria yang justru paling harmonis dengan kehidupan.

wa-akhiru da‘wana ani’l-hamdu li’Llahi rabbi’l-alamin

Jakarta, 22 April 2006

* penulis adalah wartawan senior yang 11 tahun silam meliput Konferensi Wanita Dunia di Beijing

www.hidayatullah.com
Selengkapnya »»»

Selasa, 20 Juli 2010

Yang Terpeleset Krisis Pangan ~ by: Rosmi Julitasari

SUATU hari di tahun 1964, reporter kantor berita Antara Ita Syamsudin meliput sebuah acara di Istana Negara. Tak disangka ia dipanggil oleh Presiden Soekarno. Setengah marah, Soekarno menunjuk foto yang diambil juru potret Antara Nurdin AS yang menggambarkan rakyat berebut mengais beras yang berceceran di jalan dekat Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Karung beras yang diangkut truk-truk keluar pelabuhan rupanya sering dibolongi hingga beras berceceran.

Soekarno mengatakan foto tersebut mungkin saja dilepas kubu komunis dan mungkin juga pihak kolonialis. Menurut dia, kedua pihak itu tidak menghendaki kemakmuran Indonesia. Sang Presiden menegaskan, rakyat Indonesia tidak hanya makan beras. Pernyataan itu juga selalu dikatakan bila ada wartawan asing yang menanyakan kerawanan pangan yang sedang dihadapi Indonesia. Bahkan Soekarno kerap mengundang wartawan dan diplomat asing sarapan bersama di Istana Negara dengan menu ubi dan singkong untuk membuktikan beras bukan segalanya bagi rakyat Indonesia.

Banyak pihak menilai sikap Soekarno itu seolah-olah menafikan realitas masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia masa itu (1960-an) hidup dalam kondisi ekonomi yang terpuruk. Di mana-mana orang mengantre beras. Alih-alih memberikan solusi yang signifikan, Pemimpin Revolusi itu malah tidak menghendaki kontrak baru bagi pembelian beras dari luar negeri sejak 17 Agustus 1964.

Soekarno juga menyarankan rakyat Indonesia mencampur dengan jagung dan ubi ketika makan nasi. Padahal, kondisi masyarakat saat itu tidak sesederhana masalah beras. Ekonomi rakyat sudah tercekik. Musim kemarau panjang yang berlangsung dan gagal panen menimbulkan kelaparan hebat di Pulau Jawa. Minyak tanah hilang dari pasaran, gula dan tepung semakin sulit didapat, serta harga beras terus melonjak menimbulkan kepanikan masyarakat. Resesi ekonomi menggulingkan periuk nasi rakyat Indonesia.

Ketika berpidato dalam Dies Natalis Ke-9 Universitas Syah Kuala Darussalam Banda Aceh 2 September 1970, Bung Hatta, mantan kolega terdekat Soekarno mengungkapkan, ekonomi terpimpin yang pernah dijalankan pemerintah Soekarno telah mengacaukan jalan ekonomi bangsa yang sudah dirancang. "Politik BE lebih merupakan ‘bencana ekonomi' daripada ‘bukti ekspor'. Tidak sedikit pengaruhnya untuk mengolengkan biduk perekonomian masyarakat. Pengguntingan nilai uang kertas Rp 1.000 dan Rp 500 sama sekali tidak ada dasar ekonominya. Merupakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan rakyat yang suka menabung. Inflasi yang hebat disertai penurunan uang kertas seribu kali lipat ke bawah menghancurkan ekonomi rakyat yang bagi pemerintah juga tidak menguntungkan. Inflasi berjalan terus sampai lajunya 650% setahun," kata Bung Hatta.

Situasi semakin tidak menentu. Kemelut ekonomi yang terjadi menyulut konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Kedutaan Inggris dibakar dan rumah-rumah orang asing dijarah, menyebabkan sebagian warga Amerika Serikat dan Inggris angkat kaki dari Indonesia. Presiden Soekarno diisukan sakit parah dan akan wafat.

Kemarahan rakyat mencapai puncak ketika meletus Gerakan 30 September 1965. Peristiwa itu memicu masyarakat melakukan kekerasan, terutama terhadap anggota Partai Komunis Indonesia, partai yang dituding melakukan penyiksaan terhadap sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Cerita berakhir jelas; Soekarno "terjerembap" dan Soeharto naik menjadi pemimpin baru Indonesia.

Peristiwa di akhir masa kepemimpinan Soekarno terulang kembali saat krisis moneter terjadi pada pertengahan 1997. Efek domino krisis keuangan yang dimulai di Thailand 2 Juli 1997 dengan cepat menjalar merontokkan perekonomian Indonesia. Rupiah yang semula pada level Rp 4.850 per US$ pada awal 1997 dengan cepat bertekuk lutut. Bahkan, pada 22 Januari 1998, rupiah jatuh ke dasar jurang: Rp 17.000 hanya senilai 1 US$!

Krisis moneter kemudian perlahan menggerogoti ekonomi Indonesia. Rakyat kembali mengantre untuk mendapatkan bahan pokok pangan yang harganya terus melambung. Warga yang memiliki uang lebih berduyun-duyun ke pasar untuk menimbun bahan pangan. Tingkat pendapatan masyarakat terjun bebas, menyusul pemecatan massal yang dilakukan oleh hampir seluruh perusahaan. Pengangguran melonjak ke tingkat yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an. Jumlah orang miskin melonjak naik.

Krisis ekonomi membawa mahasiswa kembali turun ke jalan. Demonstrasi merebak di mana-mana, menuntut harga bahan pokok pangan diturunkan. Mayoritas menuntut Soeharto mundur. Borok pemerintahan Orde Baru terlihat nyata, korupsi yang merajalela, terjadi monopoli perdagangan, terutama bahan pangan, yang dilakukan Soeharto dan keluarga beserta kroni-kroninya. Kemarahan rakyat mencapai puncak ketika 6 mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dalam sebuah demonstrasi. Kerusuhan dan penjarahan terjadi di Jakarta dan beberapa kota lain. Pada 23 Mei 1998 Soeharto lengser dan menyerahkan jabatan presiden kepada Wakil Presiden BJ Habibie.

Berakhirnya kepemimpinan Soeharto bukan berarti mengakhiri masalah ketersediaan pangan di Indonesia. Orde Baru justru mewariskan keruwetan ekonomi akibat korupsi dan monopoli pengadaan pangan yang hingga saat ini masih dipegang kuat oleh kroni-kroni Soeharto. Belum lagi pemaksaaan homogenitas pangan yang menyebabkan ketergantungan pada beras yang semakin tinggi.

Masih segar dalam ingatan, kasus kelaparan yang menimpa warga Yahukimo, Papua, yang menewaskan 55 warga selama 11 November hingga 7 Desembar 2005. Atau masih terdengarnya cerita warga yang terpaksa makan nasi aking karena tidak mampu lagi membeli beras. Tragedi paling baru adalah melonjaknya harga kedelai dan minyak kelapa yang membuat pendek akal seorang tukang gorengan sehingga mengakhiri hidup.

Bukan tidak mungkin krisis pangan akan terjadi lagi di Indonesia. Menteri Pertanian Anton Apriyantono akhir tahun lalu mengatakan Indonesia diprediksi akan mengalami krisis pangan kembali pada tahun 2017. Masyarakat hanya bisa berharap, krisis pangan tidak akan memicu kerusuhan dan pergantian pemimpin yang dinodai lumuran darah, seperti yang telah terjadi dalam dua orde pemerintahan sebelumnya. (*)

sumber: http://www.vhrmedia.com
Selengkapnya »»»

Rabu, 14 Juli 2010

Kontrol populasi [Proyek Depopulation] by: swaramuslim*

Kontrol populasi merupakan praktek paling dasar dari seluruh Konspirasi NWO yg diadopsi dari Ritual kaum Pagan. Praktek ini sangat banyak jenis ragamnya. Dari praktek secara Sukarela seperti misalnya program KB, kondomisasi hingga praktek pemaksaan berupa perang & Ethnic Cleansing termasuk bidang Kesehatan, Makanan dan Konspirasi Penyakit (misalnya Flu Burung) dan Proyek Kemiskinan yang bisa kita buktikan terjadi sehari-hari didepan mata kita.
Bahkan kaum Pagan sudah mematok awal program yang akan mengurangi jumlah umat manusia secara drastis ini pada Desember 2012. (lihat www.december212012.com )

Anda tentu masih ingat dengan isu panas mengenai Proyek Namru-2 beberapa bulan lalu. Siti Fadilah Supari adalah orang Indonesia pertama dalam beberapa dekade ini yang berani menentang kepentingan
Amerika Serikat. Ia menjadi Soekarno di tahun 1960-an. Presiden pertama Indonesia itu dengan gagah berani berteriak, ‘’Go to hell’’, kepada Amerika. ‘’Pergilah ke neraka, Amerika.’’‘’Saya berjuang sendiri. Tapi ini sebuah ketidak-adilan yang bisa menuju pada kehancuran,’’ kata Siti. Betul, ia memang sendiri. Lebih 500 anggota DPR diam saja. Begitu pula anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang lebih sibuk kasak-kusuk untuk memperbesar kekuasaan. Tak ada dukungan pers, tak ada dukungan politisi, cendekiawan, atau siapa pun. Lihat betapa sulitnya tak mau menjadi antek di sebuah komunitas antek.
Februari lalu, ia melansir buku dalam edisi Indonesia berjudul, Saatnya Dunia Berubah, dan dalam edisi Inggris, It’s Time for the World to Change. Kedua edisi buku – dicetak cuma 2000 eksemplar – sudah terjual habis dan sedang dicetak ulang. Padahal buku itu sepi dari publikasi pers. Di buku ini, ia betul-betul menelanjangi praktek WHO, badan kesehatan dunia itu. Bagaimana WHO mewajibkan Indonesia mengirimkan virus flu burung ke laboratoriumnya di Hongkong. Tahu-tahu sampel itu sudah ada di tangan Amerika.
Semuanya Bertujuan Pengurangan Populasi Penduduk Muslim
Berbagai upaya yang disebutkan diatas dikaitkan dengan pencegahan pertambahan populasi penduduk muslim. Ketakutan pertambahan penduduk pada negeri-negeri muslim ditutup-tutupi dengan jargon-jargon “kepedulian terhadap angka kematian ibu; memberi kesempatan untuk hidup sejahtera ; adanya kesulitan pemenuhan konsumsi barang produksi karena SDA terbatas,dll). Teori kontrol populasi dipelopori oleh munculnya teori “Ledakan Penduduk” yang dikeluarkan oleh Thomas Robert Malthus (1798) seorang pemikir Inggris yang ahli pada bidang teologi dan ekonomi. Teorinya menyatakan: Jumlah penduduk dunia akan cenderung melebihi pertumbuhan produksi (barang dan jasa). Oleh karenanya, pengurangan ledakan penduduk merupakan suatu keharusan, yang dapat tercapai melalui bencana kerusakan lingkungan,kelaparan,perang atau pembatasan kelahiran.
Upaya kontrol populasi pada dasawarsa 60-an telah diungkapkan secara terang-terangan oleh para pemimpin Eropa dan Amerika dalam strategi jahat mereka untuk melakukan pemusnahan total terhadap bangsa-bangsa tertentu secara bertahap. Buktinya, pada saat itu Mesir dan India (sebagai Negara yang berpopulasi terbanyak didunia) segera menerapkan program pembatasan kelahiran.

Disamping itu terbukti telah banyak kesepakatan, organisasi gereja dan berbagai lembaga yang mengucurkan dana melimpah untuk merealisasikan program pembatasan kelahiran tersebut, khususnya di Dunia Islam. Misalnya kesepakatan Roma, Lembaga Ford Amerika (yang menyokong apa yang disebut dengan program “kesehatan/kesejahteraan keluarga”), Lembaga Imigrasi Inggris (yang dengan terus terang menyerukan perlindungan alam dengan membatasi pertumbuhan manusia,walaupun harus melalui pembantaian massal).

Bukti lainnya, pada bulan Mei 1991,pemerintah AS telah mengekspose beberapa dokumen rahasia yang isinya berupa pandangan pemerintah AS bahwa pertambahan penduduk dunia ketiga merupakan ancaman bagi kepentingan dan keamanan AS. Salah satu dokumen itu ialah instruksi Presiden AS nomor 314 tertanggal 26 November 1985 yang ditujukan kepada berbagai lembaga khusus, agar segera menekan negeri-negeri tertentu mengurangi pertumbuhan penduduknya. Diantaranya negeri-negeri itu adalah India, Mesir, Pakistan, Turki, Nigeria, Indonesia, Irak dan Palestina.
Dokumen itu juga menjelaskan pula sarana-saran yang dapat digunakan secara bergantian, baik berupa upaya untuk menyakinkan maupun untuk memaksa negeri-negeri tersebut agar melaksanakan program pembatasan kelahiran. Diantara sarana-sarana untuk menyakinkan program tersebut, ialah memberi dorongan kepada para penjabat/tokoh masyarakat untuk memimpin program pembatasan kelahiran di negeri-negeri mereka, dengan cara mencuci otak para penduduknya agar memusnahkan seluruh faktor penghalang program pembatasan kelahiran,yakni faktor individu, sosial, keluarga, agama yang kesemuanya menganjurkan dan mendukung kelahiran.

PBB juga telah mensponsori konferensi pertama mengenai masalah ini pada tahun 1994 di Kairo untuk menganalisa masalah overpopulasi dan mengajukan sejumlah langkah untuk mengkontrolnya. Pada
konferensi itu diperdebatkan sedemikian banyak pendekatan untuk mengkontrol fertilitas, seperti : dipromosikannya penggunaan alat kontrasepsi, perkembangan ekonomi liberal dan diserukannya peningkatan status wanita. Dasar dari konferensi itu adalah suatu penerimaan atas anggapan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan kemorosotan ekonomi dan dilakukannya usaha-usaha untuk mengkontrol pertambahan penduduk di Dunia Ketiga terhambat oleh keyakinan agama yang mendorong dimilikinya keluarga yang besar dan kurangnya pendidikan bagi wanita.
Usaha-usaha semacam itu menyebabkan diterimanya pandangan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan efek-efek negatif seperti kemerosotan dan kemandegan ekonomi, kemiskinan global, kelaparan, kerusakan lingkungan dan ketidakstabilan politik. Filosofi semacam itu telah menjadi mesin pendorong bagi PBB dan Bank Dunia. Pertumbuhan penduduk adalah sebuah problem bagi Afrika, Amerika Latin dan Asia dan jika masalahnya mau terpecahkan maka Negara-negara itulah yang harus melaksanakannya. Dalam hal ini, korban yang telah sangat menderita malah dipersalahkan dengan riset empiris yang mendukung asumsi semacam itu.

Di Indonesia telah dibuat program-program yang mendukung upaya kontrol populasi untuk berbagai komunitas yang dikomandoi BKKBN dan LSM lokal, nasional dan asing, diantaranya : untuk kalangan Ibu diterapkan KB dengan slogan hindari 4Ter (Terlalu muda,Terlalu tua, Terlalu sering dan Terlalu dekat). Untuk kalangan bapak diarahkan untuk melakukan kondom dengan segala fasilitasnya dan larangan untuk berpoligami. Untuk kalangan remaja adanya pembatasan usia dewasa 18 tahun sehingga dilarang melakukan pernikahan dini dan pendidikan seks/reproduksi dengan istilah Kesehatan Reproduksi Remaja/KRR yang yang merangsang munculnya naluri seksual dengan slogan “SAVE SEX” dan melarang pernikahan dini.
Untuk kalangan remaja telah dikeluarkan suatu program yang disebut program Dunia RemajaKu Seru (DAKU). Awalnya program DAKU dikenal di negara Uganda, Afrika, dengan nama The World Start With Me, lalu diadaptasi ke beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, Kenya, Afrika Selatan, Mongolia, Cina, Pakistan, serta Indonesia. Program ini seperti nya didisain untuk negara-negara yang memiliki populasi banyak. Untuk di Indonesia telah diberlakukan sebagai percontohan di Jakarta pada beberapa sekolah sejak tahun 2005, 2006, 2007 di 12 SMU-SMK Jakarta (yaitu SMAN 100, SMA Angkasa 2 dan SMKN 27, SMAN 67, SMAK 7 Penabur dan SMKN 32, SMA Muhammadiyah 19, SMAN 53, SMK Jaya Wisata Menteng, SMAN 7, SMK Walisongo dan SMAN 105. Saat ini program tersebut juga telah dikembangkan dibeberapa propinsi diantaranya Bali, Sumatera Utara, Lampung dan Jambi. Program ini disosialisasikan terlebih dahulu oleh suatu LSM yaitu World Population Foundation dan LSM lokal Yayasan Pelita Ilmu. Program yang diperuntukkan bagi anak-anak usia 12-19 tahun, dirancang berbasis teknologi informasi membuat anak-anak remaja bisa langsung secara mudah mengakses berbagai modul-modulnya. Dan yang cukup menarik dalam modul-modul tersebut anak diajarkan untuk bercinta yang sehat tetapi tidak melalui pernikahan dini. Hal ini berarti legalisasi hubungan lawan jenis bahkan di fasilitasi untuk menyalurkan naluri seksualnya tanpa harus dengan pernikahan. (berbagai sumber/HTI)

Milk Powder

Melamine Bahan baku melemine berupa bubuk/powder dan sama putihnya seperti bubuk susu.

Anda masih ingat? kasus Susu Asal AS &China" Mengandung Melamin

Pertannyaannya, bagaimana mungkin 2 jenis produk tsb diatas, bisa tercampur? (istilah permisivenya "tercemar")


Original Sourrce: swaramuslim
klik:
http://www.swaramuslim.com
Selengkapnya »»»

Senin, 12 Juli 2010

Ahmad Patimura Lusy

Thomas Mattulessy merupakan tokoh fiktif yang harus dihapus dari catatan sejarah Indonesia. Yang sesungguhnya ada adalah Patimura yang memiliki nama ash Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy. Tokoh ini lahir di Hualoy, Seram Selatan, wilayah Islam tahun 1783. Ini sekaligus membantah versi pemerintah yang menyebut Patimura lahir di Saparua. Mat Lussy merupakan bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kasim Al¬lah, Pelayan Allah) atau dalam lidah Maluku disebut ‘Kasimiliali’.

Dalam buku biografi versi pemerintah yang ditulis M Sapija dikatakan jika Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayahnya bernama Anthoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.


Keterangan Sapija tersebut janggal. Sapija tidak jujur dengan tidak menuliskan sebagai Pelayan Allah dan Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Lalu Sapija juga mengada-adakan marga Pattimura Mattulessy, padahal di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman. Penulis sendiri pernah langsung berdiskusi dengan salah seorang Panglima Perang Hitu di tahun 1999 dimana dia menyatakan jika Patimura adalah Marga Muslim sedangkan Mattulessy adalah Kristren. Jadi tidak ada yang namanya Patimura Matulessy. Yang beranam Patimura pastilah dia seorang Muslim.

Mansyur Suryanegara menyatakan marga Patimura masih ada sampai kini. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura. Dan lagi, Maluku pada masa itu dipenuhi oleh kerajaan-kerajaan Islam dengan empat kerajaan Islam besar yakni Tidore, Ternate, Bacan, dan Jailolo. Begitu banyak kerajaan Islam di sini sehingga Ibnu Batutah menyebutnya sebagai lazirah al-Mulk’ atau Tana Para Raja.’

Dalam wawancara dengan penulis di kediamannya di Bandung pada 2001, Mansyur menyatakan jika umat Islam itu mayoritas di Maluku dan Ambon, jadi bukan wilayah Kristen. “Ada cara mudah untuk membuktikannya, lihat saja dari dari pesawat yang sedang terbang, akan terlihat banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja di sana.”

Dan lagi, adalah fakta sejarah jika nyaris seluruh perlawanan terhadap penjajah¬apakah itu Portugis, Spanyol, atau pun VOC -Belanda—seluruhnya dibangkitkan oleh tokoh-tokoh Islam. Ini disebabkan antara lain semua penjajah itu membawa misi penyebaran salib. Jadi amat aneh jika ada orang-orang non-Muslim yang juga mengangkat senjata melawan para misionaris imperialis Mi. Bukankah ini berarti perlawanan Para Domba terhadap Sang Gembala? Jelas mustahil. Adalah fakta sejarah pula jika prang¬orang pribumi yang mau memeluk agama kaum penjajah ini akhirnay bergabung dan mau menjadi tentara kaum penjajah yang rnemerangi bangsanya sendiri.

Salah satunya adalah tentara Marsose yang diterjunkan ke Aceh yang terdiri dari orang-orang pribumi non-Muslim yang bekerja melayani para penjajah.

Seluruh perlawanan yang dibangkitkan merupakan perlawanan terhadap upaya 3G (Gold, Glmius, and Gospel) yang dibawa para kafir penjajah. Demikian pula yang dikobarkan Ahmad Lusy Patimura. Pada 1817, Patimura berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua, dan menewaskan residen Van den Bergh. Jihad ini meluas ke Ambon, Scram, dan tempat-tempat lainnya. Jihad yang digelorakan Patimura bisa kita lihat dalam tradisi lisan Maluku yang masih terpelihara hingga kini, yang antara lain beribunyi:
Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama’a Kcpitan Mat Lussy
Matulu lalau Kato Sapambuine Ma Parang kua Kompania
Yami jama’a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Haro,
Hario,
Manu msi’a yare uleu uleu ‘o
Mane yascunma yare uleu-uleu ‘o
Talano utak; yare uleu-uleu’o.
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua mena miyo
(Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahrnad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)
Pertempuran kian sengit. Belanda lagi-lagi minta bantuan dari Batavia. Akhirnya Ahmad Lussy dan pasukannya tertangkap Belanda. Pada 16 Desember 1817, Ahmad Lussy dan para mujahidin Ambon menemui svahid di tiang gantungan kafir Belanda.
Sumber: Eramuslim digest, edisi koleksi 9
Selengkapnya »»»

Jejak Sejarah (Zionis) Yahudi di Indonesia ~ by Ridwan Saidi

SEJAK gerakan zionis internasional Freemasonry didirikan di Inggris tahun 1717, orang Yahudi lebih suka menyelubungi aktivitas mereka dengan selimut perkumpulan teosofi yang bertujuan “kemanusiaan”. Pengumpulan danadipusatkan di New York. Sejak 17 November 1875, pimpinannya adalah seorang Yahudi di Rusia, Nyonya Blavatsky.

Jurnal The Theosofist, yang diterbitkan di New York, pada terbitan tahun 1881 menyiarkan kabar bahwa Blavatsky mengutus Baron van Tengnagel untuk mendirikan loge, rumah ibadat kaum rijmetselarij/Freemasonry di Pekalongan.
Kota ini dipilih karena sejak 1868 berubah status dari desa menjadi kota, di samping dikenal sebagai kosentrasi santri di Jawa Tengah. Loge didirikan tahun 1883, tetapi tidak berkembang karena reaksi keras masyarakat berhubung praktek ritualisme mereka, yaitu memanggil arwah. Karena itu, penduduk menyebut loge sebagai gedong setan.

Pengalaman Pekalongan memaksa mereka mengalihkan kegiatan ke Batavia. Dua loge besar didirikan di Jalan Merdeka Barat (sebelumnya bernama Blavatsky Straat), dan Jalan Budi Utomo (sebelumnya bernama Vrijmetselarijweg). Dua loge itu, di samping loge yang didirikan di Makassar, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, menjadi pusat kegiatan ritual saja, untuk Yahudi Belanda dan Eropa, yang bekerja di Hindia Belanda di sektor birokrasi VOC/Pemerintah Hindia Belanda, dan swasta. Hindia Belanda dianggap negeri yang aman sebagai wilayah operasi mereka, karena penduduk menganggap Yahudi Belanda/Eropa sebagai orang Nasrani. Di samping itu, Gubernur Hindia Belanda selalu menjadi pembina Rotary Club.

Aktivitas ritual belaka berujung pada kebuntuan: gerakan zionis jalan di tempat. Maka, gerakan zionisme intenasional untuk Asia, yang berpusat di Adyar, India, pada 31 Mei 1909 mengutus Ir. A.J.E. van Bloomenstein ke Jawa.

Untuk mengubah pola pergerakan, pada 12 November 1912 Bloomenstein berhasil mendirikan Theosofische Vereeniging (TV), yang kemudian mendapatkan rechtpersoon, pengakuan, dan dimuat dalam Staatblaad No. 543.

TV bekerja di kalangan intelektual dan calon intelektual bumiputra. TV pun membiayai Kongres Pemuda I, 1926. Kongres itu bahkan digelar di loge Broederkaten di Vrijmetselarijweg. Akibatnya, ormas pemuda memboikot kongres itu, dan reaksinya adalah, pada 27 dan 28 Oktober 1928 ormas pemuda menggelar Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda.

Aktivitas zionis yang kian meningkat di Hindia Belanda tidak saja di kalangan masyarakat, melainkan juga di pemerintahan, menjelang dan pasca-Perang Dunia I itu, menggelisahkan orang-orang Jerman. Terutama peran Snouk Hurgronje, Belanda Yahudi, dalam Perang Aceh.

Seperti diketahui, Turki sebagai sekutu Jerman gagal membantu Aceh karena panjangnya garis supply. Kehadiran agen zionis internasional Sneevliet di Jawa, yang berhasil mengader pemuda intelektual Indonesia, makin menguatkan tekad Jerman untuk meruntuhkan pemerintah zionis Hindia Belanda.

Hal itu tercium oleh agen Belanda. Tersebarlah isu bahwa H.O.S. Tjokroaminoto menerima dana 2 juta gulden untuk mengudeta kompeni. Untuk mengonfirmasi kebenaran isu itu, Agus Salim ditugaskan menguntit Tjokroaminoto. Ironisnya, kewibawaan Tjokroaminoto malah mempesona Salim, dan tahun 1918 Salim mengetok kawat dari Surabaya, mengabarkan bahwa ia masuk SI (Sarikat Islam) dan berhenti sebagai agen.
Di bidang bisnis, orang Yahudi di Jakarta menguasai pusat bisnis elite di Pasar Baru, Jalan Juanda, dan Jalan Majapahit. Mereka menguasai perdagangan permata, jam tangan, dan kacamata. Pusat hiburan elite di Jakarta juga diramaikan oleh pemusik Yahudi Polandia. Akhirnya, Batavia menjadi salah satu kota zionis yang terpenting di Asia.

Maka, tidak mengherankan ketika Jepang sebagai sekutu Jerman merebut Indonesia dari tangan Belanda, Jepang melakukan kampanye antizionis itu. Tokoh-tokoh zionis Hindia Belanda, seperti Ir. Van Leeweun, dikirim ke kamp tahanan dan tewas di situ. Kesadaran antizionis juga merebak di kalangan rakyat. Dr. Ratulangi pada Maret 1943 memimpin rapat raksasa di Lapangan Ikada, mengutuk zionisme.

Usaha menghidupkan lagi gerakan zionisme masih dilakukan pascakemerdekaan. Pada 14 Juni 1954, berdiri Jewish Community in Indonesia, dipimpin Ketua F. Dias Santilhano dan Panitera I. Khazam. Di dalam anggaran dasarnya dinyatakan, perkumpulan itu merupakan kelanjutan dari Vereeniging Voor Joodsche Belangen in Nerderlandsch-Indie te Batavia, yang berdiri pada 16 Juli 1927.

Tidak jelas, apakah perkumpulan itu di masa reformasi kini masih eksis atau tidak. Namun, pembicaraan yang menyeruak akhir-akhir ini, tentang operasi zionis internasional di Indonesia, kiranya mempunyai dasar yang kuat. Baik ditilik dari sejarah kita maupun data muktahir, seperti kesaksian mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, yang termuat dalam memoarnya yang ditulis oleh Ramadhan KH. Di situ antara lain dikatakan, “Saya sendiri tidak pernah punya hubungan dengan Israel, paling-paling, saya ingat, saya pernah datang
ke Jalan Tosari memenuhi undangan mata rantai Israel yang ada di Jakarta.”
* Ridwan Saidi * Pengamat sosial politik *

sumber:  http://blog.agul.net
Selengkapnya »»»

Minggu, 11 Juli 2010

HOS Cokro Aminoto, Mercusuar Syareat Islam di Indonesia



"Tjokroaminoto mempunyai keyakinan yang teguh, bahwa Negara dan bangsa kita tak
akan mentjapai kehidupan jang adil dan makmur, pergaulan hidup jang aman dan
tenteram, selama keadilan sosial sepandjang adjaran-adjaran Islam belum dapat
berlaku atau dilakukan mendjadi hukum dalam Negara kita, sekalipun sudah merdeka.
Terbukti sekarang, sekalipun Negara dan bangsa kita sudah merdeka dan berdaulat
bernaung dibawah pandji-pandji sang merah putih, namun rakjat jelata jang
berpuluh-puluh jumlahnja belum merasakan kenikmatan dan kelezatan hidup dan
kehidupan sehari-harinja. Rakyat masih tetap menderita matjam - matjam kesukaran
dan kemelaratan. Kekatjauan timbul dimana-mana. Perampokan penggedoran.
Pentjulikan dan pembunuhan seolah-ilah tak dapat diatasi oleh pihak (alat)
pemerintahan.

Dikota-kota besar nampak pula kerusakan moral (budi pekerti) bangsa kita. Bukan
sadja pelajturan jang meradjalela dari kota-kota sampai desa-desa, tetapi pihak
jang dikatakan kaum terpeladjar, pemuda dan pemudi tak ada batas lagi pergaulan
hidupnja, pergaulan jang merdeka. Pergaulan jang mempengaruhi alam pikiran pada
kesesatan. Sumber-sumber pelatjuran telah menjadi pergaulan hidup yang modern.
Kemadjuan jang mentjontoh dunia barat jang memang sudah rusak. Rusak budi-
pekertinja dan rochaninja. Tak ada kendali didalam djiwa jang dapat menahan hawa
nafsunja. Inilah semuanja yang oleh ketua Tjokroaminoto dikatakan Djahiliah
modern.

Kalau alat-alat pemerintah RI jang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik
pihak atasan maupun sampai bawahan sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah,
jakinlah Negara akan rusak dan hantjur dengan sendirinja, sebab segala perbuatan
djahat, korupsi, penipuan, suapan dan sebagainja jang terang terang merugikan
Negara, dikerjakan dengan aman oleh mereka itu sendiri, rakjat mengerti sebab
rakjat jang menjadi korban" (Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950)
Sang raja tanpa mahkota begitulah kaum Kompeni Belanda menyebutnya, lihai cerdas,
dan bersemangat. Di takuti dan juga disegani lawan – lawan politiknya. Perjuangnya
dalam membela hak kaum pribumi saat itu benar - benar menempatkan dirinya menjadi
seoarang tokoh yang benar-benar dihormati pada saat itu. HOS Cokroaminoto lahir di
desa Bakur, Madiun Jawa Timur 16 Agustus 1883. Ia anak kedua dari dua belas
bersaudara putra dari Raden Mas Cokro Amiseno, seorang Wedana Kleco dan cucu RT
Adipati Negoro bupati Ponorogo. Terlahir dari keluarga bangsawan tak membuatnya
bersikap angkuh, justru karena itulah ia akhirnya menjadi sebuah motor penggerak
kemerdekaan bagi Indonesia disaat semua manusia tertidur dalam belaian kompeni
Belanda. Dialah tokoh politik yang berhasil menggabungkan retorika politik melawan
penjajah Belanda dengan ideology Islam, sehingga mengenyahkan penjajah dari bumi
Nusantara.

Setelah menamatkan study di Oplayding School Foor Inladishe Ambegtenaren (OSVIA),
sekolah pegawai pemerintahan pribumi Magelang. Setelah itu ia mengikuti jejak
kepriayian ayahnya sebagai pegawai pangreh praja walaupun akhirnya ia tinggalkan
karena muak dengan kebiasaan sembah jongkok yang baginya sangat melecehkan.
Tahun 1905 Cokro pindah ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan dagang, di samping
ia juga belajar di sekolah malam Hogore Burger School. Bersama istrinya,
Suharsikin ia mendirikan rumah kost di rumahnya. yang nantinya melalui rumah
inilah Cokro menyalurkan ilmunya dalam agama, politik dan berorasi yang akhirnya
menjadi cikal bakal pembentukan tokoh – tokoh penting di Indonesia. Seperti
Soekarno yang Nasionalis, SM kartosuwirjo yang Islamis Dan Muso-Alimin yang
Komunis. R. A. Suharsikin adalah cermin wanita yang selalu memberikan bantuan
moril, selalu menjadi kebiasaannya, jika suaminya bepergian untuk kepentingan
perjuangannya, istri yang sederhana dan prihatin ini mengiringi suaminya dengan
sholat tahajud, dengan puasa, dan do’a. perbedaan idiologi dari murid - muridnya
tersebut secara tidak langsung memberikan warna sendiri bagaimana secara aktif
ide-ide, ilmu dan gagasan Cokro menghujam kedada mereka. Walaupun dengan pemahaman
yang beraneka ragam sesuai dengan latar belakang, pendidikan dan pekerjaanya
masing masing. Jadi, pertarungan Soekarno, Kartosuwirjo dan Muso-alimin sejatinya
adalah pertarungan tiga murid dari seorang guru Cokroaminoto. Hal ini
mengisaratkan bahwa adanya perbedaan tafsir para murid terhadap guru dan kernudian
mendorong kecenderungan yang berbeda pula.
Dalam beberapa hal, ide Islam Cokro lebih dipahami oleh Kartosuwirjo dengan Darul
Islamnya, ia melanjutkan perjuangan yang telah dirintis oleh Cokro yakni menuntut
Indonesia bersyariat. Dengan dasar itu ia akhirnya memproklamirkan Negara Islam
Indonesia pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat, sebagai reaksi atas penghianatan
Soekarno-Hatta terhadap piagam Jakarta.

Untuk merealisasikan perjuangan menuntut Indonesia bersyareat ia masuk ke dalam
Sarekat Dagang Islam (SDI) yang saat itu dipimpin oleh H.Samanhudi di Solo, sebuah
pergerakan pertama Indonesia yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Bukan Budi
Utomo seperti yang diketahui saat ini, karena SDI lahir lebih muda yakni lahir
pada tahun 1908 sedangkan SDI 1905 pendistorsian sejarah semacam ini jelas
kejahatan yang dilakukan oleh musuh – musuh Islam untuk mengkaburkan perjuangan
Indonesia bersyariat. Karena memang tujuan SDI adalah kemerdekaan dan pemberlakuan
syareat Islam. Semenjak masuknya ia kedalam SDI, SDI berubah menjadi sebuah
organisasi yang besar dan menakutkan bagi kolonial. Kemahirannya serta
kepiawaiannya berpolitik dalam menyuarakan kemerdekaan Indonesia dan memihak
kepentingan rakyat membuat SDI begitu di gandrungi Rakyat pribumi. Terlebih
setelah SDI berubah menjadi SI dan ia menjadi pemimpin SI. Lewat Cokro tujuan SI
mulai di perjelas yakni kemerdekaan Indonesia dan pemberlakuan Syareat Islam bagi
segenap lapisan rakyat.

Karena aktifitas politiknya Belanda akhirnya menangkap Cokro pada tahun 1921
karena dikhawatirkan akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat pribumi
walaupun akhirnya dibebaskan pada tahun 1922, sebuah cobaan yang lazim diterima
para penegak syariat islam di seluruh dunia. Pada tanggal 14-24 juni 1916
diadakanlah kongres Nasional pertama di Bandung. Di dalam kongres tersebut Cokro
mengupas tentang pembentukan bangsa dan pemerintahan sendiri. Sebuah langkah yang
sangat berani saat itu karena bagi rakyat pribumi kemerdekaan adalah hal yang tabu
untuk disampaikan. Suatu langkah politik yang benar-benar berani. Cokro membangun
opini rakyat yang belum mengerti politik untuk berpihak terhadap perjuanganya.
Yaitu menuntut Indonesia merdeka dan bersyariat Islam.
Di tengah pemerintah kolonial yang masih kuat apalagi saat itu Belanda masih
menerapkan peraturan Reegerings Reglement(RR) sebuah peraturan yang berisi
larangan berpolitik, berkumpul untuk membahas perjuangan kemerdekaan. Yang
otomatis Cokro saat itu harus berhadapan dengan dua lawan yaitu Belanda dan
Pangreh Praja yang menjadi kaki tangan Belanda. Pada tahun 1924, Cokro mulai aktif
dalam komite –komite pembahasan kekhilafahan yang dicetuskan pemimpin politik
Wahabiah Arab, Ibnu Saud. Sebuah langkah untuk memperkuat barisan menuju
kemerdekaan dan kekhalifahan dunia.

Bagi Cokro, Islam adalah sesuatu yang harus di perjuangkan dan di persatukan,
sebagai dasar kebangsaan yang hendak di proses menuju Indonesia. Tipikal Cokro,
identik dengan AI-Afghani yang juga merupakan tokoh politik Pan-Islamisme
(kebangkitan Islam). Cokro dan Afghoni juga sama-sama mengalami kegagalan dalam
perjuangan Pan-Islamismenya. Namun, arti penting keduanya bukan pada kemenangan
atau kekalahan. Keduanya menjadi penting karena menggulirkan momentum perubahan
pemikiran dalam Islam. Keduanya juga menjadi ruh perjuangan bagi kepentingan politik Islam.


Ruh Cokro akan masih terus bergerak menjadi spirit perjuangan ketika islam di
artikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak statis. Yang mengatakan ,"
Setinggitinggi ilmu, semurni-murni tauhid , sepintar-pintar siasat". Beliau wafat
pada tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta, dan dimakamkan di TMP Pekuncen,
Yogyakarta. (Saif).

(disarikan dari "H.O.S TJOKROAMINOTO, Hidup dan Perdjuangannja, karya Amelz, Bulan
Bintang)
Sumber : al-ikhwah Edisi 3 Tahun I ~ Maret 2009 M / Rabiul Awwal 1430 H
Selengkapnya »»»

Sabtu, 10 Juli 2010

Kebobrokan Demokrasi (Sebuah Tinjauan Kritis) ~ oleh Farid Wadjdi

Pentingnya demokratisasi Timur Tengah belakangan ini kerap dilontarkan oleh para pejabat AS, termasuk Presiden Goerge W. Bush. Dalam pidatonya pada Kamis, 6/11/2003, di depan The National Endowment for Democracy, pada ulang tahun badan itu yang ke-20, Bush kembali menekankan pentingnya demokratisasi Timur Tengah. 
 
Dalam kesempatan itu, ada beberapa argumentasi yang dilontarkan Bush tentang pentingnya demokratisasi di Timur Tengah. Menurutnya, selama kebebasan (freedom) belum tumbuh di Timur Tengah, kawasan itu akan tetap menjadi wilayah stagnan (jumud), peng-‘ekskpor’ kekerasan, termasuk menjadi tempat penyebaran senjata yang membahayakan negara AS. Dengan menyakinkan, Bush mengatakan, “Demokrasi akan menjangkau seluruh negara-negara Arab pada akhirnya.” (Khilafah. Com Journal, 21/11/2003).
 
Pertanyaannya, benarkah demokrasi akan menjadi solusi atas berbagai persoalan dunia saat ini. Apakah demokrasi memberikan kebaikan pada manusia atau sebaliknya? 

Menguji Sistem Demokrasi
Apa yang disebut dengan sistem demokrasi, dengan segala nilai-nilai yang dianggap baik oleh pengikutnya, tentunya sangat penting dikritisi; baik dalam tataran konsep maupun realita praktiknya dalam sistem pemerintahan. Dari sana diharapkan muncul kesadaran baru bagi kaum Muslim tentang kebobrokan sistem kufur ini. Mereka juga bisa berhenti untuk bermimpi dengan harapan-harapan palsu yang ditawarkan sistem ini. Lebih penting lagi, mereka terhindar dari murka Allah Swt. Sebab, saat mereka berpegang dengan demokrasi yang intinya kedaulatan di tangan rakyat, mereka telah menjadikan tuhan baru sebagai tandingan bagi Allah, yakni suara yang mengatasnamakan rakyat. 

(1) Demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Menurut kamus, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam ucapan Abraham Lincoln, demokrasi merupakan pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. (Apakah Demokrasi Itu? United States Information Agency, hlm. 4). Namun, benarkah realitanya seperti itu? 

Faktanya, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara demokrasi seperti AS dan Inggris sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Para kapitalis raksasa inilah yang mendudukkan mereka ke berbagai posisi pemerintahan atau lembaga-lembaga perwakilan, dengan harapan, mereka dapat merealisasikan kepentingan kaum kapitalis tersebut. Kaum kapatalis pulalah yang membiayai para politisi, mulai dari kampanye sampai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen. Wajar kalau mereka memiliki pengaruh besar terhadap para politisi baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di Inggris, sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan bangsawan aristokrat. 

Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Clfrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Seperti di Indonesia, mayoritas kaum Muslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital). 

Kritik yang sama muncul dari C. Wright Mills yang memokuskan penelitiannya pada persoalan elit politik. Berdasarkan penelitiannya pada sebuah kota kecil di AS, dia melihat bahwa meskipun pemilu dilakukan secara demokratis, ternyata elit penguasa yang ada selalu datang dari kelompok yang sama. Kelompok ini merupakan kelompok elit di daerah tersebut yang menguasai jabatan-jabatan negara, militer, dan posisi kunci perekonomian. Merekapun datang dari keluarga-keluarga kaya di daerah tersebut, yang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah elit yang sama. Memang, secara ide, demokrasi sering menyatakan bahwa semua orang bisa menempati jabatan negara, militer, atau memegang posisi bisnis kelas atas. Akan tetapi, dalam kenyataannya, jabatan-jabatan itu diduduki oleh kelompok-kelompok tertentu.
Pendukung demokrasi sangat bangga dengan menyatakan bahwa dalam demokrasi setiap keputusan yang diambil adalah suara mayoritas rakyat. Namun, kenyataannya tidaklah begitu. Tetap saja keputusan diambil oleh selompok orang yang berkuasa, yang memiliki modal besar, kelompok berpengaruh dari keluarga bangsawan, atau dari militer. 

Dalam sistem kapitalis, kekuatan pemilik modal menjadi faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan, bukan rakyat secara keseluruhan. Merekalah yang banyak mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen atau pemerintahan. Ini tidak aneh, karena dalam sistem kapitalis, calon anggota parlemen haruslah memiliki modal yang besar untuk mencalonkan diri. 

Karena itu, kalau dia sendiri bukan pengusaha kaya, dia akan dicalonkan atau disponsori oleh para pengusaha kaya, sehingga politik uang sangat sering terjadi. Bisa disebut hampir mustahil, kalau ada orang bisa mencalonkan diri menjadi presiden atau anggota parlemen kalau tidak memiliki modal. 

Karena itu, keputusan yang diambil oleh parlemen pastilah sangat memihak pemilik modal besar tersebut. Dilegalisasinya serangan AS ke Irak oleh Parlemen Negara Paman Sam tersebut tidak bisa dilepaskan dari besarnya kepentingan ekonomi para pengusaha minyak AS terhadap Irak yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar setelah Saudi Arabia

Dalam sejarah Inggris, PM Anthony Eden, misalnya, bahkan pernah mengumumkan perang terhadap Mesir dalam Krisis Suez tanpa terlebih dulu meminta persetujuan parlemen. Demikian juga serangan AS terhadap negara-negara lain seperti Irak, Afganistan, Sudan, Libya, Somalia; sering tanpa terlebih dulu disetujui oleh anggota parlemen. Dalam pembuatan UU, sebenarnya anggota parlemen lebih sering sebatas menngesahkan rancangan UU yang dibuat oleh eksekutif (presiden atau perdana menteri). 

Memang, dalam kenyataannya, sulit untuk membuat keputusan dengan terlebih dulu mendapat persetujuan rakyat. Bisa disebut, klaim ‘suara anggota parlemen adalah cerminan suara rakyat’ hanyalah mitos. Seharusnya, kalau prinsip ini benar-benar dilaksakan, setiap kali parlemen akan menghasilkan sebuah UU atau kebijakan, mereka bertanya dulu kepada rakyat, bagaimana pendapat mereka. Terang saja, cara seperti ini sangat sulit, untuk tidak dikatakan utopis. Apalagi, kalau negara tersebut memiliki jumlah penduduk yang sangat besar seperti AS dan Indonesia.
Klaim demokrasi yang lain, pemerintahan yang terpilih adalah pemerintahan rakyat. Anggapan ini, selain keliru, juga utopis. Pada praktiknya, tidak mungkin seluruh rakyat memerintah. Tetap saja yang menjalankan pemerintahan adalah elit penguasa yang berasal dari pemilik modal kuat atau pengendali kekuatan militer. 

(2) Demokrasi dan kebebasan.
Bagi para pendukung demokrasi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai salah satu nilai unggul dan luhur dari demokrasi. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Tetap saja, dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat dibatasi oleh demokrasi itu sendiri. Artinya, pendapat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi atau akan menghancurkan sistem demokrasi tetap saja dilarang. Organisasi atau partai politik yang dibebaskan adalah juga yang sejalan dengan demokrasi. Kalau tidak, mereka tetap saja dilarang. 

Sebenarnya dalam sistem apapun, wajar jika sebuah sistem politik memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar, apalagi sampai menghancurkan sistem politik itu. Namun curangnya, pendukung demokrasi, sering mengklaim bahwa hanya sistemnya yang membolehkan kebebasan berpendapat, sementara sistem ideologi lain tidak. Padahal dalam kenyataannya, sistem demokrasi pun memberikan batasan tentang kebebasan berpendapat ini. 

Tidak mengherankan kalau negara yang dikenal ‘demokratis’, bahkan mahagurunya demokrasi, melarang sejumlah hal atas nama demokrasi. Di Prancis dan beberapa negara lainya di Eropa, jilbab dilarang atau paling tidak dihambat pemakainnya atas nama sekularisme (yang merupakan asas dari sistem demokrasi). Kelompok-kelompok Islam, juga atas nama demokrasi, sering dilarang dengan alasan mengancam sekularisme. Untuk memperkuat tuduhan tersebut, kelompok Islam yang dianggap bertentangan dengan sekularisme kemudian dikaitkan dengan tindakan terorisme. 

Atas nama perang melawan terorisme, kebebasan media masa dihambat, baik oleh negara ataupun oleh kesadaran media itu sendiri. Terbukti, banyak berita yang diplintir untuk kepentingan AS dalam Perang Irak, sementara berita yang dianggap mengancam kepentingan AS disensor. Larangan terhadap stasiun Aljazeera di Irak oleh pemerintah sementara Irak bentukan AS (jadi pasti di bawah tekanan AS) merupakan praktik lain dari kebohongan kebebasan demokrasi. 

Fakta lain, kekhawatiran munculnya sistem Islam telah mendorong penguasa sekular dan militer memberangus dan membatalkan kemenangan FIS di Aljazair—sebuah tindakan yang jelas-jelas tidak demokratis. Namun, negara-negara demokrasi seperti Prancis, Inggris, dan AS diam terhadap persoalan ini. Sebab, sistem Islam akan membuat negara-negara imperialis kehilangan kontrol terhadap negara bekas jajahannya itu. 

Barat pada umumnya, khususnya AS, juga memuji-muji Turki sebagai model pemerintah ideal bagi umat Islam. Turki dianggap telah mempraktikkan demokrasi Islam. Padahal, di Turki, memakai kerudung saja dilarang dengan alasan bertentangan dengan prinsip sekularisme. Partai Raffah, yang sebenarnya sudah mengakui sekularisme Turki, juga terus ditekan, dan bahkan dibubarkan; lagi-lagi karena dianggap membahayakan sekularisme.
(3) Demokrasi dan kesejahteraan.
Banyak penganut sekularisme memandang bahwa demokrasi akan membawa kesejahteraan bagi dunia. Hal ini sering dipropagandakan oleh negara-negara Barat kepada Dunia Ketiga supaya mereka mau dan setia menerapkan sistem demokrasi, tentu saja termasuk Dunia Islam. Namun, apa kenyataannya? Sistem demokrasi yang dipraktikkan oleh negara-negara kapitalis hanyalah memakmurkan dunia Barat saja atau negara-negara boneka Barat yang menjadi agen kapitalisme Barat seperti Jepang dan Singapura. Sebaliknya, Dunia Ketiga tetap saja menderita. Lihat saja, saat dunia dipimpin dan dikendalikan oleh negara-negara kapitalis penjajah, Dunia Ketiga semakin tidak sejahtera. Badan pangan dunia (FAO), dalam World Food Summit pada 2002, menyatakan bahwa 817 juta penduduk dunia terancam kelaparan, dan setiap 2 detik satu orang meninggal dunia akibat kelaparan. Kemiskinan terbesar ada di negara-negara Afrika (Sebaliknya, pada saat yang sama penduduk negara-negara maju sibuk melawan kegemukan). Padahal, sebenarnya hanya diperlukan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sanitasi di seluruh dunia. Jumlah itu ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan pengeluaran pertahun orang-orang di Amerika dan Uni Eropa untuk membeli parfum mereka (Ignacio Ramonet, The Politics of Hunger, Le Monde Diplomatique, November 1998). Walhasil, pangkal kemiskinan di dunia tidak lain adalah sistem Kapitalisme internasional yang dipraktikkan saat ini oleh negara-negara maju yang mengklaim sebagai negara paling demokratis di dunia. 

Sementara itu, kesejahteraan yang dialami negara-negara maju sebetulnya bukan karena faktor demokrasinya, tetapi karena ekploitasi mereka terhadap dunia lain. Sebab, sudah merupakan sifat dari ideologi Kapitalisme untuk menjajah dan mengeksploitasi kekayaan negara-negara lain secara rakus. Dengan itulah Kapitalisme tumbuh di dunia. Mereka merampok dan memiskinkan Dunia Ketiga secara sistematis lewat berbagai cara seperti krisis moneter, privatisasi, pasar bebas, pemberian utang, standarisasi mata uang dolar, dan mekanisme perampokan lainnya. 

Demokrasi sering dimanfaatkan oleh negara-negara imperialis untuk kepentingan penjajahan ekonomi mereka. Artinya, sebuah negara yang dijadikan target untuk dieksploitasi sering dicap sebagai pelanggar demokrasi dan HAM. Itulah yang kemudian dijadikan alasan oleh mereka untuk menyerang negara tersebut, mengintervensinya, atau memboikot ekonominya. Lihat saja bagaimana Irak yang kaya dengan minyak dijajah oleh AS dengan alasan demokratisasi. Beberapa negara, seperti Cina, sering dikenakan sanksi ekonomi, juga dengan memunculkan alasan melanggar demokrasi dan HAM. Sebaliknya, negara-negara yang jelas-jelas tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Kuwait, atau Bahrain tetap dipelihara oleh AS. Sebab, AS mempunyai kepentingan minyak di negara-negara tersebut. 

Tidak adanya relevansi antara demokrasi dan kesejahteraan bisa dibuktikan. Beberapa negara Dunia Ketiga yang dikenal paling demokratis, seperti India atau Filipina, ternyata bukanlah negara sejahtera. Penduduknya juga banyak hidup dalam penderitaan. Indonesia, yang sering dipuji lebih demokratis pada masa reformasi, mayoritas rakyatnya juga jauh dari sejahtera. Sebaliknya, banyak negara yang dikenal tidak demokratis justru kaya seperti Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, atau Brunei. Di sini jelas, demokrasi bukanlah faktor kunci sejahtera-tidaknya sebuah negara. 

(4) Demokrasi dan stabilitas.
Mitos lain adalah demokrasi akan menciptakan stabilitas. Dalam banyak kasus, yang terjadi justru sebaliknya. Kran demokrasi yang diperluas ternyata menimbulkan banyak konflik di tengah masyarakat. Secara konseptual, hubungan konflik dan demokrasi bisa dirujuk pada ide utama demokrasi, yakni kebebasan atau kemerdekaan. Ketika pintu demokrasi dibuka, banyak pihak kemudian menuntut kebebasan dan kemerdekaan; biasanya atas nama bangsa, suku, kelompok. 

Muncullah konflik antar pihak yang bersinggungan kepentingan atas nama bangsa, suku, atau kelompoknya. Muncul pula perdebatan batasan wilayah dan kekuasaan masing-masing. Bersamaan dengan itu, muncul persaingan internal elit politik yang ingin muncul sebagai penguasa baru. 

Contoh nyata dalam hal ini adalah Indonesia. Masa reformasi ditandai dengan meningkatnya konflik di beberapa tempat, seperti Timor Timur (yang kemudian lepas), Aceh,Maluku, dan Papua. Konflik ini sebagian besar dipicu oleh isu keinginan untuk memisahkan diri (disintegrasi) dengan alasan kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bagian dari asas kebebasan—sebagai pilar utama demokrasi. 

Pemilihan kepala daerah yang sering kisruh di beberapa tempat juga merupakan hasil dari demokrasi. Sebelumnya, pada masa Orde Baru, kepala daerah ditentukan oleh Presiden. Atas nama aspirasi masyarakat daerah, kepala daerah kemudian dipilih oleh DPRD masing-masing, yang kemudian menyulut berbagai konflik horisontal antar masyarakat. 

Hal yang sama tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi wilayah dunia yang lain. Demokrasi kemudian memunculkan fanatisme nasionalisme atas nama bangsa, suku, kelompok. Disintegrasi negeri-negeri eks komunis, seperti Soviet dan Yugoslavia, sebelumnya diyakini sebagai cahaya terang demokrasi. Kenyataannya, disintegrasi menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga kini, dengan korban manusia yang tidak sedikit. Konflik antar etnis pun terjadi, masing-masing dengan alasan yang sama: kemerdekaan bangsa. Belum lagi, kalau kita membicarakan korban-korban perang atas nama demokrasi yang disulut oleh negara AS. Apa yang terjadi di Irak merupakan contoh yang jelas. 

Tawaran demokrasi AS ternyata menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat Irak hingga kini. Perang atas nama demokrasi ini telah menimbulkan puluhan ribu korban manusia. Inikah yang disebut dengan stabilitas? 

(5) Demokrasi dan kemajuan.
Pidato Bush yang menyatakan bahwa tanpa demokrasi Timur Tengah akan menjadi stagnan (jumud)—seakan-akan kemajuan ditentukan oleh apakah negara itu menganut sistem demokrasi atau tidak—patut dikritisi. Argumentasi yang sering dilontarkan, demokrasi menjamin kebebasan, sementara kebebasan adalah syarat bagi kemajuan. Dengan kata lain, reason (akal) bisa produktif karena adanya freedom (kebebasan), baik freedom of thinking (kebebasan berpikir) maupun freedom of speech (kebebasan berbicara), dan keduanya itu hanya ada dalam sistem demokrasi. Karena itu, demokrasi mutlak harus diperjuangkan. 

Benarkah dengan kebebasan akan diperoleh kemajuan intelektual? Tentu saja tidak sesederhana itu. Rusia pada masa kejayaan Komunisme meraih kemajuan di bidang sains dan teknologi. Mereka mampu menciptakan teknologi canggih hingga ke teknologi ruang angkasa. Padahal Komunisme sering diklaim memberangus kebebasan. 

Bandingkan pula dengan masa kejayaan Islam, yang jelas bukan berdasarkan sistem demokrasi. Betapa banyak karya intelektual yang dihasilkan oleh para pemikir Islam saat itu. Jutaan karya intelektual dihasilkan oleh para ulama besar seperti an-Nawawi, Ibn Taimiyah, Ibn hajar al-Asqalani, dan lainnya. Dunia Islam pun dipenuhi dengan penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi, yang diakui oleh banyak pihak. Bandingkan dengan sekarang. Sebaliknyalah yang terjadi, negeri-negeri Islam yang sebagian besar menganut sistem demokrasi mundur dalam bidang sains dan teknologi. Lihat pula intelektualitas para penyeru kebebasan di negeri Islam, berapa banyak dan bagaimana mutu tulisan mereka dibandingkan dengan ulama-ulama Islam terdahulu. 

Jadi, persoalannya bukanlah masalah kebebasan atau tidak, tetapi apakah masyarakat itu memiliki kebiasan berpikir yang produktif atau tidak. Berpikir produktif sendiri merupakan hasil dari kebangkitan berpikir yang didasarkan pada ideologi (mabda’) tertentu. Jadi, lepas sahih atau tidak, ideologi yang dianut oleh suatu bangsa atau masyarakat akan mendorong produktivitas berpikir bangsa tersebut. Sebab, karakter dasar dari ideologi adalah senantiasa ingin memecahkan persoalan manusia secara menyeluruh, sekaligus mempertahankan dan menyebarkan ideologinya. Semua itu membutuhkan berpikir yang produktif. 

Demokrasi: Alat Penjajahan Barat
Propaganda demokratisasi di negeri-negeri Islam pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan negara-negara kapitalis penjajah. Sebab, tujuan dari politik luar negeri dari negara-negara kapitalis itu memang menyebarkan ideologi Kapitalisme mereka, dengan demokrasi sebagai derivatnya. Tersebarnya nilai-nilai Kapitalisme di dunia ini akan menguntungkan negara-negara kapitalis; mereka akan tetap dapat mempertahankan penjajahannya atas negeri-negeri Islam.
Demokrasi digunakan untuk menjauhkan kaum Muslim dari sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt. Sebab, demokrasi menyerahkan kedaulatan ke tangan manusia, sementara dalam Islam kedaulatan ada di tangan Allah Swt. Demokrasi pun digunakan untuk memerangi kaum Muslim. Atas nama menegakkan demokrasi dan memerangi terorisme, negeri-negeri Islam diserang dan dijajah, seperti yang terjadi di Irak dan Afganistan. 

Untuk menyebarluaskan demokrasi itu, negara-negara kapitalis melakukan berbagai penipuan dan kebohongan. Ide demokrasi pun dikemas sedemikian rupa sehingga tampak bagus dan memberikan harapan kepada kaum Muslim. Alih-alih memberikan solusi terhadap persoalan kaum Muslim, sistem demokrasi justru memperparah kondisi kaum Muslim. Penyebab persoalan kaum Muslim justru adalah penerapan sistem demokrasi yang membuat mereka jauh dari aturan-aturan Allah. Padahal, hanya dengan penerapan aturan Islamlah kaum Muslim terbebas dari berbagai persoalan dan penjajahan. (FARID WADJDI)

sumber: http://farid1924.wordpress.com
Selengkapnya »»»